Minggu, Juni 22, 2025

Top 5 This Week

Related Posts

FGD Analisis APBDes Tematik Ketahanan Iklim di Papua Barat, BP3OKP Dorong Peningkatan Kapasitas Aparat Desa

Orideknews.com, MANOKWARI – Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDTT) melalui Sekretariat Jenderal menggelar kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Analisis APBDes Regional Tematik Ketahanan Iklim dan Bencana Level Desa, Kamis (15/5/2025), di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Papua Barat, Gedung Keuangan Negara (GKN) Manokwari.

Kegiatan ini merupakan bagian dari Program Aksi Desa Berketahanan Iklim yang bertujuan menyelaraskan kebijakan dan perencanaan pembangunan desa dengan isu perubahan iklim dan kebencanaan, khususnya di wilayah Provinsi Papua Barat.

FGD ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk perwakilan dari Kementerian Keuangan, Kepala Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Papua Barat, Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP), akademisi, dan pejabat dari Kementerian Desa. Selain itu, hadir pula perwakilan pemerintah daerah Provinsi Papua Barat dan kabupaten, seperti Kepala Bappeda, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung, Dinas Lingkungan Hidup, serta perwakilan dari Pemkab Manokwari, Manokwari Selatan, dan Pegunungan Arfak.

Dalam kegiatan ini, penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) menjadi fokus utama diskusi. Ditekankan bahwa sebelum menyusun APBDes, desa wajib memiliki rencana kerja yang memperhitungkan aspek perubahan iklim dan risiko bencana.

“Desa harus menyusun rencana kerja yang memuat isu iklim dan bencana, terutama berdasarkan data dan dokumen yang sudah tersedia dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah,” ujar narasumber Akademisi Universitas Papua, Dr. Ir. Rulky Novie Wurarah, M.Si.

Ia dalam kesempatan itu menegaskan pentingnya integrasi isu ketahanan iklim ke dalam dokumen perencanaan desa.

“Ketika isu iklim dan bencana telah termuat dalam rencana kerja desa, maka akan lebih mudah mengalokasikan anggaran dalam APBDes secara tepat. Namun, karakteristik dan kelembagaan tiap desa berbeda, sehingga kebijakan ini harus disesuaikan,” kata Wurarah.

Ia juga menilai perlunya alat ukur atau tools untuk menilai indikator capaian program ketahanan iklim dan kebencanaan di setiap desa. Menurutnya, alokasi dana desa harus didasarkan pada target yang jelas dan terukur agar benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat kampung.

Wurarah pun memberikan saran konkret kepada pemerintah daerah, khususnya bupati, untuk menyediakan perangkat tata kelola yang dapat memandu kampung-kampung dalam menyusun dan melaksanakan perencanaan desa berbasis ketahanan iklim.

Ia juga menyarankan agar penguatan kapasitas aparatur kampung dilakukan melalui kolaborasi dengan perguruan tinggi, salah satunya melalui program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).

“Mahasiswa bisa tinggal selama satu semester di kampung untuk membantu proses perencanaan, dan kami dari universitas siap membekali mereka agar mampu mendampingi kampung dalam menyusun rencana yang baik dan terukur,” pungkasnya.

Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran, Pengelolaan Keanekaragaman Hayati dan Pengaduan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Kabupaten Manokwari, Yohanes Ada Lebang, mendorong pemanfaatan dana desa untuk menangani isu lingkungan dan perubahan iklim di tingkat kampung.

“Apa yang mau disiapkan dengan anggaran dana desa yang cukup besar hari ini? Sudah saatnya masyarakat kampung bisa melihat persoalan lingkungan yang berdampak langsung terhadap iklim,” ujar Yohanes.

Dia menilai, selama ini dana desa cenderung difokuskan pada pembangunan infrastruktur, padahal alokasi anggaran juga dapat diarahkan untuk perlindungan lingkungan demi generasi masa depan.

“Kita dorong agar dana desa digunakan untuk hal-hal yang berdampak pada iklim di kampung. Ini sangat penting, agar program desa benar-benar berkontribusi menjaga keberlanjutan lingkungan,” tegasnya.

Lebih lanjut, Yohanes juga menyampaikan bahwa ide pemanfaatan energi baru terbarukan dari limbah, seperti sisa potongan kayu gergaji yang dapat diolah menjadi biogas dan briket, mendapat sambutan positif dari BP3OKP.

“Mudah-mudahan kami bisa difasilitasi untuk tindak lanjutnya, karena ini demi kemaslahatan di atas tanah Papua,” tambahnya.

Ia berharap adanya dukungan teknis dan pelatihan sumber daya manusia untuk mendukung implementasi program tersebut di kampung-kampung.

“Sumber daya kita ada, hanya perlu tenaga yang siap. Kalau tidak, minimal ada pelatihan untuk mendorong masyarakat kampung terlibat langsung,” pungkas Yohanes.

Sementara itu, perwakilan Pokja Papua Produktif BP3OKP, Fiktor Towansiba, menyoroti pentingnya pemanfaatan dana desa secara tepat guna, terutama dalam konteks ketahanan iklim.

“Alokasi dana desa saat ini mencapai Rp71 triliun. Jumlah ini semestinya digunakan untuk mendukung pembangunan yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat, terutama mereka yang rentan terhadap dampak perubahan iklim,” ujarnya.

Menurut Fiktor, dana desa sebaiknya diarahkan untuk mendukung perlindungan dan pemulihan hak lingkungan serta hak masyarakat desa, bukan sekadar dihabiskan untuk program seremonial.

“Fokus kita harus pada masyarakat yang rentan terdampak perubahan iklim. Mereka perlu dipetakan, dan pendekatannya harus berbasis kebutuhan nyata,” tegasnya.

Ia juga mengusulkan agar dana desa tidak langsung digunakan untuk program-program teknis penanggulangan iklim, tetapi terlebih dahulu diarahkan untuk peningkatan kapasitas aparat dan tokoh desa.

“Para kepala desa di Papua Barat banyak yang belum memahami isu perubahan iklim. Maka, sebelum implementasi program, perlu penguatan kapasitas agar pelaksanaannya tepat sasaran,” katanya.

Fiktor mencontohkan pentingnya pemahaman terhadap informasi cuaca dari BMKG atau bagaimana mengelola sampah untuk mengurangi beban ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Ia menilai, rendahnya pemahaman ini bisa disebabkan oleh minimnya akses informasi dan latar belakang pendidikan kepala desa yang bervariasi.

Lebih lanjut, ia meminta perlunya akuntabilitas penggunaan dana desa. “Kita tidak ingin lagi mendengar dana desa digunakan untuk hal-hal yang tidak relevan dengan pembangunan, seperti membayar emas kawin. Ini harus dihentikan,” ungkapnya.

Ia mengajak para kepala desa untuk lebih proaktif menggali potensi ekonomi lokal yang bisa mendatangkan pendapatan, termasuk melalui sektor pariwisata dan sumber daya alam desa.

“Kalau semua kepala desa di Papua Barat punya mindset yang baik, menggunakan dana desa secara produktif dan kreatif, saya yakin kita akan maju. Tapi sekarang, belum ada kampung yang benar-benar menonjol dan menarik wisatawan,” tambahnya.

Fiktor juga mendorong Kemendes PDTT untuk turun langsung ke lapangan guna mengevaluasi dampak penggunaan dana desa selama ini.

“Sudah saatnya kita ukur bersama, apakah dana desa benar-benar berdampak atau belum. Jangan hanya menunggu laporan dari atas, tapi lihat langsung kondisi di bawah,” pungkasnya. (ALW/ON).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles

error: Hati-hati Salin Tanpa Izin kena UU No.28 Tahun 2014 Tentang HAK CIPTA dan/atau UU RI No.19 Tahun 2016 atas perubahan UU RI No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)