Orideknews.com, Manokwari, – Meski menempati peringkat keempat nasional dalam penemuan kasus Tuberkulosis (TBC) dengan capaian 91% (melebihi target 90%), Provinsi Papua Barat masih menghadapi kendala serius dalam keberhasilan pengobatan.
Data tahun 2024 menunjukkan, dari 2.623 kasus TBC yang terdeteksi, sebanyak 369 penderita tidak menyelesaikan pengobatan hingga tuntas.
Hal ini berpotensi memperburuk kondisi pasien, meningkatkan risiko penularan, serta berkontribusi pada tingginya angka morbiditas dan mortalitas di provinsi Papua Barat.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat, dr. Alwan Rimosan, mengungkapkan kasus putus obat menjadi faktor utama rendahnya tingkat kesembuhan.
“Pasien yang tidak melanjutkan pengobatan berisiko mengalami kekebalan bakteri terhadap obat (resistansi), memperparah penyakit, bahkan menularkan ke orang sekitar,” ungkapnya.
Akses layanan kesehatan yang sulit, efek samping obat, dan beban biaya transportasi kata dr. Alwan menjadi penghambat utama, terutama bagi pasien di pedalaman. Meski obat TBC gratis, biaya perjalanan ke fasilitas kesehatan tetap memberatkan. Lama pengobatan (6-8 bulan) juga memicu kejenuhan pasien.
Ia menyebut, diskriminasi terhadap penderita TBC tidak hanya muncul di masyarakat, tetapi juga di lingkungan keluarga dan tenaga kesehatan. Stigma ini membuat pasien enggan terbuka tentang penyakitnya atau melanjutkan pengobatan.
Selain itu, jelas dr. Alwan banyak pasien berhenti berobat setelah merasa gejala mereda dalam 2 minggu, tanpa memahami risiko resistansi obat. Minimnya pemahaman keluarga tentang pentingnya pengawasan selama pengobatan turut memperparah kondisi.
Ia mengaku, ada pasien yang mangkir tidak selalu dilacak oleh petugas kesehatan. Jika tidak minum obat selama 2 bulan, mereka dianggap putus berobat dan harus memulai pengobatan dari awal saat kembali.
“Peran keluarga dalam mengawasi kepatuhan minum obat masih rendah, padahal dukungan ini penting untuk mencegah putus obat,” tuturnya.
Menyambut Hari TBC Sedunia 2025, dr. Alwan mengingatkan kolaborasi lintas sektor.
“Pemerintah, swasta, dan masyarakat harus bersinergi untuk mengatasi hambatan ini,” ujarnya.
dr. Alwan menyampaikan beberapa langkah prioritas meliputi, penguatan layanan kesehatan yang mudah dijangkau, termasuk di daerah terpencil. Kampanye edukasi masif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang risiko TBC dan pentingnya pengobatan tuntas.
Tidak hanya itu, Pelatihan tenaga kesehatan dalam pendampingan pasien dan penghapusan stigma. Kemudian Optimalisasi pelacakan kasus mangkir melalui kunjungan rumah atau pendampingan berbasis komunitas.
Ia yakin dengan komitmen bersama, pihaknya menargetkan Provinsi Papua Barat dalam penurunan signifikan angka putus obat dan peningkatan kesembuhan pasien, sebagai langkah menuju Papua Barat Bebas TBC 2030.
“Kami yakin, setiap pasien yang sembuh adalah investasi untuk memutus mata rantai penularan,” tutup dr. Alwan. (ALW/ON)