Orideknews.com,MANOKWARI – Koalisi masyarakat sipil peduli ruang hidup masyarakat adat Papua Barat melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) Bedah Dokumen Rancangan Peraturan Daerah Khusus tentang Wilayah Adat, Jumat, (24/8/2018).
FGD tersebut menghadirkan narasumber ketua komisi A, Bidang Pemerintahan, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua Barat, Rudy F.Timisela, ketua STIH Manokwari Filep Wamafma, mewakili Akademisi dan Abdul Solichin selaku peneliti Sosio Spasial.
Dalam penyampaiannya, Timisela mengatakan Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Raperdasus) wilayah adat telah dikawal sejak lama, dan prosesnya sangat terbuka kepada masyarakat sipil dan perwakilan masyarakat adat.
“Dengan membagi draft Raperdasus wilayah adat beserta naskah akademiknya untuk dibahas oleh masyarakat sipil dan masyarakat adat agar substansinya lebih berbobot,” jelasnya.
Menurut Timisela, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Papua Barat berkomitmen untuk segera menetapkan Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Raperdasus) tentang wilayah adat tersebut.
Terkait substansi Raperdasus wilayah adat, Fileb Wamafma menjelaskan bahwa judul Raperdasus perlu diubah dari ‘Reperdasus wilayah adat’ menjadi ‘Raperdasus Perlindungan Hak-hak masyarakat Adat’ selain itu konsideran Perdasus harus mengacu pada UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
Lebih lanjut kata Wamafma, didalam rancangan tidak ada konsistensi tentang istilah masyarakat adat dan hukum masyarakat adat, sehingga digunakan istilah yang mengacu pada UU Otsus Papua.
“Konsideran harus menunjukkan hubungan antara peraturan yang satu dengan lainnya yang memberikan manfaat bagi masyarakat. Definisi tentang masyarakat adat masih menggunakan pemikiran dari tim penyusun bukan dari UU Otonomi Khusus,” ucap Wamafma.
Sementara itu, Abdul Solichin mengaku dengan menggunakan judul Raperdasus wilayah adat maka memerlukan peraturan daerah disetiap kabupaten yang lebih rumit dan panjang.
George Dedaida mewakili Lembaga Masyarakat Adat Papua Barat menyampaikan bahwa Raperdasus tersebut digagas oleh kawan-kawan masyarakat sipil karena adanya pengabaian Pemerintah terhadap hak masyarakat adat, tetapi dalam proses pembentukan Raperdasus wilayah adat, LMA Papua Barat tidak dilibatkan.
Sedangkan Zaenal Abidin Bay dari AKAPe Foundation menyatakan bahwa terdapat dua fersi naskah akademik Raperdasus wilayah adat, sebaiknya DPR PB melibatkan semua untuk menyatukan perbedaan gagasan dalam dekumen tersebut.Selain itu, berbicara tentang hak masyarakat adat harus juga membahas tentang pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan.
Menurut Ketua Dewan Persekutuan Masyarakat Adat bahwa kami menjadi korban karena aturan yang dipaksakan oleh negara, sehingga beliau meminta kepada para akademisi seperti Filep Wamafma untuk mengawal proses penetapan Raperdasus ini.
Hal yang sama disampaikan oleh Ottow Ajoy dari Dewan Adat Papua wilayah 3, bahwa dalam Raperdasus harus memuat masyarakat adat, kelembagaan adat dan wilayah adat.
Adapun rencana tindak lanjut dari kegiatan FGD adalah DPR Papua Barat akan segera menggelar diskusi kecil untuk melakukan pembobotan lebih mendalam tentang Raperdasus wilayah Adat bersama tim penyusun dalam hal ini adalah Yusak Reba dan perwakilan masyarakat adat serta masyarakat sipil.
Adapun peserta yang hadir dalam FGD tersebut berasal dari perwakilan Lembaga Masyarakat Adat Papua Barat, Dewan Adat Papua wilayah III, LMA Knasaemos, perwakilan masyarakat adat pegunungan Arfak dan himpunan pemuda Moskona Teluk bintuni.
GSBI Papua Barat, untuk perwakilan koalisi peduli ruang hidup masyarakat adat yang berpartisipasi dalam kegiatan tersebut adalah Panah Papua, Mnukwar Papua, YLBH PB, Jangkar, Perdu, Bentara Papua, Papuana Conservation, Kamuki, Paradisea, AKAPe Foundation, Econus peduli Sehat, WRI Indonesia dan Kemitraan. (BAC/ON)