Orideknews.com, Manokwari — Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua Barat melaporkan terjadinya deflasi sebesar 0,19 persen secara bulanan (month-to-month/mtm) pada Oktober 2025. Meskipun demikian, secara tahunan (year-on-year/yoy) Papua Barat masih mencatat inflasi sebesar 1,42 persen, masih berada dalam rentang target nasional.
Kepala BPS Papua Barat, Merry, menyampaikan hal itu dalam rilis resmi di Manokwari, Senin (3/11/2025). Ia menjelaskan, Indeks Harga Konsumen (IHK) Papua Barat turun dari 108,51 pada September menjadi 108,30 pada Oktober 2025.
“Deflasi terjadi karena adanya penurunan harga pada sejumlah komoditas utama, terutama dari kelompok makanan, minuman, dan tembakau,” ujar Merry.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2021, target inflasi tahun 2024–2025 ditetapkan sebesar 2,5 persen ±1 persen. Capaian inflasi tahun kalender (year-to-date/ytd) Oktober 2025 di Papua Barat tercatat 0,33 persen, berada di bawah target tersebut.
“Selama semester I 2025, Papua Barat bahkan mengalami deflasi cukup dalam. Hal ini membuat inflasi kumulatif hingga Oktober tetap terkendali,” jelas Merry.
Sementara itu, Provinsi Papua Barat Daya juga mencatat deflasi bulanan sebesar 0,08 persen, dengan inflasi tahunan 1,36 persen dan inflasi tahun kalender 1,52 persen.
Dari empat kota IHK di Papua Barat dan Papua Barat Daya, tiga mengalami deflasi, dan satu mencatat inflasi. Kabupaten Manokwari, deflasi 0,19 persen (terdalam di wilayah). Kota Sorong, deflasi 0,12 persen (yoy 1,01 persen; ytd 1,39 persen). Kabupaten Sorong Selatan, deflasi 0,16 persen (yoy 2,16 persen; ytd 1,18 persen). Kabupaten Sorong, inflasi 0,07 persen (yoy 2,18 persen; ytd 2,06 persen).
Di Papua Barat, kelompok makanan, minuman, dan tembakau menjadi penyumbang deflasi terbesar dengan penurunan harga 0,90 persen dan andil 0,31 persen terhadap deflasi umum. Komoditas yang paling berpengaruh antara lain bawang merah (-0,18 persen), daging ayam ras (-0,08 persen), dan ikan tuna (-0,07 persen).
Kelompok transportasi juga memberikan andil deflasi 0,07 persen, terutama akibat turunnya tarif angkutan udara (-0,08 persen).
Sementara itu, komoditas yang memberikan andil inflasi di antaranya ikan cakalang, emas perhiasan, bahan bakar rumah tangga, cabai merah, dan upah tukang bukan mandor.
Di Provinsi Papua Barat Daya, kelompok makanan, minuman, dan tembakau juga menjadi penyumbang utama deflasi dengan penurunan harga 0,69 persen dan andil 0,27 persen.
Deflasi tertinggi tercatat di Kota Sorong (0,89 persen; andil 0,35 persen) dan Kabupaten Sorong Selatan (0,51 persen; andil 0,28 persen).
Berbeda dengan daerah lain, Kabupaten Sorong justru mengalami inflasi pada kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya sebesar 1,83 persen dengan andil 0,11 persen.
Komoditas penyumbang deflasi terbesar di Papua Barat Daya meliputi ikan kembung (-0,23 persen), cabai rawit (-0,13 persen), bawang merah (-0,11 persen), tomat (-0,09 persen), dan ikan cakalang (-0,04 persen). Adapun komoditas penyumbang inflasi adalah ikan tuna, tarif angkutan udara, emas perhiasan, biaya televisi kabel, dan ikan asin.
Secara tahunan, seluruh kota IHK di Papua Barat dan Papua Barat Daya mengalami inflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Kabupaten Sorong (2,18 persen) dan terendah di Kota Sorong (1,01 persen).
Di Papua Barat, inflasi tahunan sebesar 1,42 persen terutama disumbang oleh kelompok makanan, minuman, dan tembakau (1,55 persen; andil 0,54 persen), khususnya dari komoditas ikan cakalang, beras, dan bawang merah.
Kelompok transportasi justru mengalami deflasi 1,49 persen. Sementara itu, inflasi tahunan di Papua Barat Daya sebesar 1,36 persen, dengan kenaikan IHK dari 105,51 menjadi 106,95. Angka ini lebih rendah dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Merry menyatakan, kondisi inflasi di Papua Barat dan Papua Barat Daya hingga Oktober 2025 menunjukkan tren stabil dan terkendali. Hal ini mencerminkan efektivitas koordinasi antara pemerintah daerah dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID)dalam menjaga pasokan dan kestabilan harga pangan.
“Inflasi yang terkendali di bawah target pemerintah menunjukkan daya beli masyarakat masih cukup stabil, terutama di tengah tekanan ekonomi global,” tutup Merry. (ALW/ON).



