Minggu, Mei 25, 2025

Top 5 This Week

Related Posts

Kasus Kusta di Papua Barat Masih Tinggi, Dinkes Minta Dukungan Kebijakan dan Anggaran

Orideknews.com, Manokwari, – Meski termasuk dalam kategori penyakit tropis terabaikan atau Neglected Tropical Disease (NTD), kasus kusta di Provinsi Papua Barat masih menjadi masalah serius. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat, pada tahun 2024 tercatat sebanyak 796 kasus kusta, terdiri dari kasus lama dan kasus baru.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Papua Barat, dr. Nurmawati, menyebutkan, penanganan kusta memerlukan perhatian khusus karena karakteristik penyakit ini yang unik. Masa inkubasi penyakit ini dapat berlangsung dua hingga lima tahun, dan penularannya relatif rendah, dengan hanya 5 persen dari yang terpapar berpotensi tertular.

“Namun dari 5 persen itu, sekitar 3 persen bisa sembuh sendiri, dan hanya 2 persen yang menjadi kasus. Inilah yang menjadikan kusta tampak seperti tidak ada, padahal masa inkubasinya panjang dan bisa luput dari pendeteksian,” jelas dr. Nurmawati, Selasa, (6/5/25).

Ia menyebut meskipun secara nasional kusta dianggap sebagai penyakit yang jarang, di Papua Barat kondisinya berbeda. Bahkan prevalensi kusta masih sangat tinggi, mencapai 13,76 per 10.000 penduduk pada tahun 2024. Padahal ambang batas eliminasi secara nasional adalah di bawah 1 per 10.000 penduduk.

Ia kemudian merinci jumlah kasus kusta tahun 2024 di beberapa kabupaten, Manokwari: 508 kasus, Teluk Bintuni: 76 kasus, Fakfak: 38 kasus, Kaimana: 105 kasus, Teluk Wondama: 64 kasus, Manokwari Selatan: 14 kasus.

Nurmawati menjelaskan, pengobatan kusta membutuhkan waktu yang panjang, minimal enam bulan hingga satu tahun. Sayangnya, pasokan obat kusta terbatas karena produksinya jarang dan tergantung pada distribusi dari pemerintah pusat serta bantuan WHO.

Kabid P2P Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat, dr. Nurmawati

“Distribusi obat pun tidak seperti TBC yang langsung diberikan dalam satu paket. Untuk kusta, obat dikirim per blister sehingga petugas harus hati-hati agar pasien tidak sampai putus obat,” ucapnya.

Ia mengaku tantangan pengobatan pasca satu hingga dua bulan, di mana reaksi tubuh terhadap matinya bakteri sering kali menimbulkan gejala yang membuat pasien enggan melanjutkan pengobatan.

“Karena keterbatasan anggaran, pelatihan petugas kesehatan masih dilakukan secara daring. Kami terus mendorong peningkatan kapasitas tenaga medis, baik di puskesmas maupun rumah sakit,” kata dr.Nurmawati.

Ia kemudian juga mengajak organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk turut membantu menangani kasus-kasus berat.

Nurmawati menyambut baik langkah BP3OKP Papua Barat yang memasukkan kusta, frambusia, dan filariasis ke dalam program prioritas selain AIDS, TBC, dan malaria. Ia berharap ada perhatian serius dari pemerintah daerah untuk mendukung penanganan kusta, baik dalam bentuk kebijakan maupun anggaran.

“Jika tidak ada dukungan kebijakan dan anggaran yang memadai, akan sulit mengatasi masalah ini. Kami harap semua pihak dapat bersinergi agar kusta bisa ditekan dan tidak menjadi ancaman kesehatan jangka panjang,” pungkasnya. (ALW/ON).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles

error: Hati-hati Salin Tanpa Izin kena UU No.28 Tahun 2014 Tentang HAK CIPTA dan/atau UU RI No.19 Tahun 2016 atas perubahan UU RI No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)