Orideknews.com, Manokwari, – Pemerintah Indonesia tengah gencar mendorong program hilirisasi dan ketahanan energi untuk mengurangi beban APBN dan meningkatkan pendapatan negara.
Langkah ini mendapat apresiasi dari berbagai pihak, termasuk anggota DPR Papua Barat yang juga Ketua Hiswana Migas Manokwari Raya, Ferry Auparay.
Dia mengaku ada tantangan implementasi program digitalisasi dalam ketahanan energi (KE) di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) secara khusus Papua Barat.
Auparay juga memuji penunjukan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sebagai Ketua Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi. Hal itu merujuk pada Keputusan Presiden RI No. 1 Tahun 2025 tentang Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional.
Auparay menganggap penunjukkan itu sebagai representasi positif dan keterwakilan bagi wilayah timur secara khusus Papua.
Politis Golkar ini menilai, hilirisasi sebagai langkah tepat, guna meningkatkan keuntungan negara dari sektor sumber daya alam, beralih dari ekspor bahan mentah ke produk bernilai tambah.
“Hilirisasi adalah satu pilihan yang sangat tepat dalam kondisi pasar global dan nasional saat ini,” ujar Auparay.
Namun, dia mengungkapkan kekhawatiran terkait implementasi program digitalisasi dalam penyaluran BBM bersubsidi di Papua Barat. Walaupun sistem digitalisasi sebagai langkah maju secara nasional, ia menyebut penerapannya di wilayah 3T belum tepat saat ini.
“Program digitalisasi ini bagus secara nasional, namun belum bisa diterapkan di daerah 3T seperti Papua Barat karena keterbatasan akses internet dan infrastruktur transportasi,” jelas Auparay.
Ia mencontohkan kabupaten Teluk Wondama, Kaimana, Fakfak, dan Pegunungan Arfak yang minim kendaraan yang memenuhi syarat standar operasi sistem digitalisasi Pertamina.
Kondisi ini, lanjut Auparay, berpotensi menimbulkan konflik antara upaya penerapan sistem digitalisasi dengan kebutuhan masyarakat di daerah terpencil.
Auparay memperkirakan hanya sebagian kecil kendaraan yang memenuhi kriteria digitalisasi Pertamina. Akibatnya, program ini justru akan memberatkan Pertamina dan agen penyalur BBM.
Oleh karena itu, Auparay mengusulkan penundaan implementasi program digitalisasi di wilayah 3T Papua Barat selama 5-10 tahun ke depan, hingga infrastruktur dan aksesibilitas di daerah tersebut membaik.
Ia berharap Bahlil Lahadalia, sebagai perwakilan wilayah timur di Pusat, mempertimbangkan kondisi riil di daerah 3T dalam pengambilan kebijakan. (ALW/ON).