JAKARTA , – Kementerian Pertanian (Kementan) mengajak generasi muda untuk ikut meningkatkan literasi terkait sejarah panjang sektor pertanian Indonesia dari masa ke masa. Sebagai salah satu penulis buku berjudul “Menjaga Keberlanjutan Swasembada Pangan”. Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian (Kementan), Kuntoro Boga Andri, berharap agar minat baca generasi muda terhadap sektor pertanian dapat didorong secara lebih inklusif.
“Saya berharap buku ini, bisa menjadi pegangan untuk teman – teman, bisa menjadi lesson learned, bagi generasi muda, untuk melihat kembali apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah dan kita semua dalam mencapai swasembada” ujar Kuntoro usai menjadi narasumber dalam Talkshow Jasmerah yang diadakan Perpusnas RI bekerjasama dengan Kementan di Gedung Perpusnas Jakarta,Rabu, 6 Maret 2024.
Menurut Kuntoro, pertanian adalah sektor yang berkontribusi besar dalam mengawal sejarah kemerdekaan. Sejak Presiden Soekarno hingga Presiden Joko Widodo pertanian konsisten menjadi sektor prioritas yang menopang pembangunan Indonesia secara keberlanjutan. Upaya – upaya yang dilakukan pemerintah untuk melakukan berbagai bentuk perbaikan dibidang pertanian bahkan sukses mewujudkan Indonesia sebagai negara swasembada.
“Tentu kita sangat mempertanyakan apabila ada statement bahwa kita belum swasembada. Kenapa? Secara teori saja swasembada itu dikatakan kalau impornya 10 persen. Sedangkan produksi beras kita sampai saat ini hampir lebih dari 90 persen diproduksi dari dalam negeri, jadi kita sudah swasembada sebetulnya,” ujar Kuntoro.
Senada, Wartawan Senior Harian Kompas, Andreas Maryoto mengatakan bahwa konsep swasembada sudah didengungkan oleh para pendiri bangsa waktu itu agar menjadi program yang masif di seluruh daerah. Hal inilah yang disebut Bung Hatta sebagai Cita-cita kemandirian.
“Memang generasi awal dari pendiri republik ini sudah mendapat pendidikan pertanian dan sistem pelaporan dari daerah kecil tentang hama, cuaca dan keterampilan yang lain soal benih dan lain-lain. Bung Hatta melihat bahwa organisasi yang harus digunakan petani adalah koperasi desa yang kuat. Nah, prinsip yang waktu itu dikemukakan Bung Hatta bahwa produk yang dihasilkan petani harus menjadi tiang ekonomi bangsa ini,” katanya.
Memasuki orde baru, revolusi hijau dikembangkan menjadi panca usaha tani yang selanjutnya dikembangkan dengan pendirian pabrik pupuk, membuat irigasi dan menyekolahkan para pegawai kementan agar memiliki kemampuan khusus pada sektor pertanian nasional.
“Hingga pada tahun 1984 Indonesia sukses mencapai swasembada dan pada tahun 1985 Presiden Soeharto di undang ke FAO di Roma,” katanya.
Direktur Utama PT Galih Sagu Pangan, Halim menambahkan bahwa sejarah pangan juga tak lepas dari komoditas lokal seperti sagu yang harus dikembangkan secara berkelanjutan. Karena itu, Halim mendukung penuh upaya pemerintah yang terus meminta masyarakat agar mengkolaborasikan menu makan dari beras hingga pangan lokal (diversifikasi).
“Saya melihat, saat ini ada dua fenomena. Pertama perang dan fenomena kedua perubahan iklim. Beberapa waktu lalu kita dihadapkan pada covid, perang dan lain-lain. Akibatnya kita kewalahan dalam mendapat beras. Belum lagi fenomena el nino yang menyulitkan kita bercocok tanam. Tapi bagi saya ini kesempatan bagi kita untuk kembai pada pangan lokal kita seperti sagu yang bisa menjadi pengganti beras,” jelasnya. (*)