Orideknews.com, MANOKWARI – Menanggapi penanganan bencana di Kabupaten Teluk Bintuni, Maybrat, dan Fakfak. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Papua Barat, Dereck Ampnir angkat bicara.
Menurutnya, prosedur penanganan yang dilakukan sudah cukup efektif sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 tahun 2015.
Pasalnya, penanggap pertama setiap kejadian bencana adalah Pemerintah Daerah (Pemda) di wilayah setempat, terlebih khusus BPBD kabupaten dan kota.
“Kemudian wajib hukumnya dilaporkan ke BPBD Provinsi. Dasar laporan ini, menjadi dasar tindakan kami, karena paradigma baru dalam penanganan itu bukan responsif. Tapi bagaimana ada mitigasi, sehingga peristiwa bencana itu kedepan tidak terjadi lagi,” jelas Ampnir, kepada wartawan, Senin (25/7/22).
Apabila sudah ada laporan, lanjut dia, BPBD Provinsi akan melakukan kajian terhadap efek dan dampak kondisi pasca bencana.
“Kejadian krisis bencana ini selalu berkaitan dengan manusia. Kalau ada korban, bagaimana mengurus dan menanganinya? Kemudian kalau krisis pada saat terjadi bencana, tidak ada hal lain yang diurus. Melainkan mengisi kebutuhan manusia,” tuturnya.
Selanjutnya, efek daripada kejadian tersebut, tentu mengakibatkan terjadi kerusakan terhadap sarana prasarana perekonomian, infrastrutur, dan keamanan. Maka harus ada perbaikan darurat.
Dikatakannya, mengenai penyebab, bencana terjadi karena cuaca ekstrim yang dipengaruhi oleh iklim global. Tetapi juga situasi lingkungan yang sudah terdegradasi.
“Jadi banjir semakin meningkat itu dipengaruhi oleh lingkungan yang sudah terdegradasi karena kegiatan penebangan hutan, yang membuat daerah hutan semakin gundul,”sebutnya.
Meski Provinsi Papua Barat merupakan wilayah konservasi, sebut dia, tidak menjamin keselamatan satu wilayah untuk lolos dari bencana.
“Konservasi kita sekarang terpapar, karena iklim global. Pertanyaannya, daerah kita kan masuk wilayah konservasi tetapi kenapa harus ada longsor dan banjir? Jadi konservasi adalah bagian daripada konsep kita mitigasi jangka panjang,”katanya.
Oleh sebab itu, upaya BPBD kedepan adalah mitigasi bencana sehingga ada pencegahan, dengan melakukan kajian terhadap resiko bencana.
“BPBD temukan, bahwa wilayah Papua Barat sedang terjadi degradasi lingkungan. Penebangan yang tidak beraturan, tanpa memikirkan erosi,” ucap Ampnir.
Misalnya, kata dia, bencana banjir yang terjadi di Kabupaten Teluk Bintuni ini dipergarhui oleh lingkungan.“Kita tahu di Bintuni kan terjadi eksploitasi hutan besar-besar, jadi kejadian banjir juga menjadi bagian. Karena eksploitasi hutan yang tidak bertanggungjawab,” pungkasnya.
Selain itu, Ampnir mengungkapkan, di Provinsi Papua Barat terdapat 7 desa dan kelurahan yang memiliki kategori bencana beresiko tinggi.
Kemudian bedasarkan data log BPDB Provinsi Papua Barat ada 400 lebih desa dan kelurahan masuk ketegori bencana resiko sedang. Namun, saat ini dengan menurunya kualitas lingkungan yang disebabkan oleh tata kelola hutan yang tidak bertanggungjawab menyebabkan ancaman bencana.
“Jadi wilayah-wilayah ini kan, kami sudah punya data log terkait banjir di Provinsi Papua Barat. Kita sudah tahu daerah mana yang beresiko tinggi dan wilayah mana yang beresiko sedang,” beber Ampnir
Terlebih khusus banjir yang terjadi di Teluk Bintuni, dia mengungkapkan, 30 tahun lalu dirinya bertugas di daerah tersebut tidak ada banjir. Maka, diharapkan kepada Pemda setempat dan instansi terkait untuk menanam ulang hutan yang ditebang hingga gundul.
“Kita kedepan ini akan menghadapi krisis bencana. Sebenarnya kita sudah masuk di bulan kemarau, tapi masih hujan. Berarti anomali cuaca ini sedang tidak beraturan, karena terjadi perubahan iklim global. Tetapi juga dipicu oleh kesadaran kita untuk menjaga lingkungan,” jelas Ampnir lagi.
Dalam kesempatan ini, dirinya berharap juga kepada instansi terkait yang mengelola hutan baik Provinsi maupun kabupaten dan kota, agar dapat bersinergi dengan BPBD dalam hal pencegahan resiko bencana.
“Bagaimana menanami kembali hutan yang ditebang. Jika ada invertor yang bergerak disektor kehutanan, supaya dapat bekerjasama dengan kami BPBD. Jadi intinya, kita harus menjauhkan masyarakat dari bencana dan bencana itu jauh dari masyarakat.” terang Ampnir.
Tak hanya itu, Ampnir menuturkan, penyebab terjadinya bencana juga dipengaruhi oleh kebijakan pembangunan dari Pemda.
“Kebijakan pembangunan yang keliru juga mendatangkan bencana, dan saya lihat kalau tidak dikendalikan kebijakan pembangunan dengan menjaga ruang daerah yang ada, ya pasti berpotensi bencana cukup besar,” katanya.
Pemda lanjut dia, harus konsisten menjaga tata ruang daerah setempat dalam hal Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus mengacu pada hasil kajian BPBD.
“Kita harus konsisten menjaga tata ruang kita, yang sudah terpatenkan atau terlegitimasi dalam peraturan daerah. Jadi jangan sampai salah mengelola,” pesannya.
Diakui Ampnir, BPBD bagian dari stekolder yang ikut mengawasi dan menjaga penggunaan ruang di suatu wilayah. “Jika kita salah menggunakan ruang, maka akan terjadi malapetaka. Misalnya, seperti salah membangun bangunan atau gedung di tepi sungai,”pungkasnya.
Ampnir menambahkan, pada umumnya bencana banjir yang beresiko tinggi saat ini di wilayah Provinsi Papua Barat adalah Kota Sorong.
Untuk itu BPBD sebagai pemegang data dari resiko bencana, harus ada singkronisasi dengan Pemda setempat. (ALW/ON)