Orideknews.com, MANOKWARI, — Anggota Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) Pokja Adat, Willy Hegemur, S.T., menyampaikan keprihatinannya terhadap mandeknya pembangunan Masjid Nur Islam Kerajaan Sanggaria Petuanan Ati-ati yang berlokasi di Kampung Werpigan, Distrik Wartutin, Kabupaten Fakfak.
Willy Hegemur menuturkan bahwa peletakan batu pertama pembangunan masjid tersebut telah dilakukan oleh Penjabat Gubernur Papua Barat saat itu, Drs. Ali Baham Temongmere, M.T.P, pada Rabu, 7 Februari 2024. Namun hingga kini, pembangunan masjid tersebut belum menunjukkan kemajuan signifikan.
“Pembangunan masjid ini sebenarnya telah direncanakan sejak masa pemerintahan Bupati Fakfak sebelumnya, Untung Tamsil. Masjid lama bahkan telah dibongkar untuk dibangun kembali, namun hingga beliau lengser dari jabatan, pembangunan tak kunjung terealisasi,” kata Hegemur.
Sebagai perwakilan MRPB dari Kabupaten Fakfak, Hegemur menitipkan harapan kepada pemerintahan Kabupaten Fakfak yang baru di bawah kepemimpinan Samaun Dahlan, SSos,M.AP dan Drs Donatus Nimbitkendik, M.T agar pembangunan masjid tersebut segera menjadi perhatian serius.
“Masjid ini memiliki nilai sejarah tinggi bagi masyarakat Petuanan Ati-ati dan masyarakat Fakfak secara umum. Maka pembangunan kembali masjid ini adalah kewajiban, baik secara budaya maupun tanggung jawab pemerintahan,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa tanggung jawab terhadap pembangunan masjid tersebut tidak bisa dilepaskan dari pemerintah daerah, karena pembongkaran dilakukan atas arahan pemerintah sebelumnya. Oleh karena itu, ia meminta agar pembangunan masjid segera direncanakan, dianggarkan, dan direalisasikan.
Dalam keterangannya, Hegemur juga mengungkapkan bahwa Pemerintah Provinsi Papua Barat sebelumnya telah menyalurkan dana hibah sebesar Rp600 juta untuk pembangunan masjid tersebut. Namun hingga kini, belum ada wujud fisik dari pembangunan yang terlihat di lapangan.
“Anggaran hibah itu harus ditelusuri dan diaudit. Kami dari MRPB mempertanyakan, dana sebesar itu dikemanakan oleh panitia pembangunan? Jangan sampai kepercayaan masyarakat dan pemerintah disalahgunakan,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia mengajak seluruh komponen masyarakat Petuanan Ati-ati, khususnya masyarakat adat Fakfak, untuk kembali menghidupkan semangat gotong royong dalam membangun rumah ibadah melalui kearifan lokal yang disebut masigit maghi.
“Pembangunan rumah ibadah jangan selalu bergantung kepada pemerintah. Kita sebagai masyarakat adat punya kekayaan budaya luar biasa. Kita pernah mengadakan sekolah Maghi, kampus Maghi, Wisuda Maghi dan lain-lain. Lantas, mengapa kita tidak bisa Masigit Mahgi untuk membangun masjid di Kampung Warpigan secara swadaya bersama?” tutur Hegemur.
Ia mencontohkan keberhasilan pembangunan masjid di Toyando yang juga dilakukan melalui semangat masigit maghi, karena banyak warga Fakfak berdarah Toyando turut membantu. Menurutnya, metode yang sama bisa diterapkan untuk membangun kembali masjid tua milik Petuanan Ati-ati di Kampung Werpigan.
Menutup keterangannya, Hegemur menitipkan pesan khusus kepada generasi muda Petuanan Ati-ati, terutama yang memegang gelar adat seperti Nadhy.
“Nadhy jangan manja, jangan hanya buka tangan minta ke pemerintah. Sebagai pewaris budaya, kita harus bangga menggunakan kearifan lokal kita untuk membangun masjid. Pemerintah tugasnya menopang, tetapi kekuatan utama ada pada kita sebagai masyarakat adat,” pungkasnya. (ALW/ON)