Orideknews.com, MANOKWARI, — Ketua Majelis Rakyat Papua Barat (MRP PB) menyuarakan keprihatinan mendalam atas belum terbangunnya kantor tetap dan representatif bagi lembaga yang menjadi representasi Orang Asli Papua (OAP) tersebut, meski otonomi daerah telah berjalan selama 29 tahun.
Pernyataan ini disampaikan bertepatan dengan peringatan Hari Otonomi Daerah ke-29, sebagai bentuk refleksi terhadap masih adanya ketimpangan dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua.
“Sudah 29 tahun Otonomi Daerah berjalan, dan kita masih menyaksikan bahwa lembaga kultural seperti MRP Papua Barat belum memiliki kantor tetap yang layak. Ini ironi yang harus menjadi perhatian serius pemerintah pusat dan daerah,” ujar Ketua MRP PB dalam pernyataan resminya.
Menurutnya, keberadaan kantor tetap bukan hanya soal fasilitas fisik, tetapi simbol penting dari pengakuan negara terhadap eksistensi MRP sebagai lembaga negara yang dibentuk melalui Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.
MRP Papua Barat memiliki peran strategis dalam menjaga nilai-nilai adat, budaya, dan agama, serta memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan di Papua Barat berpihak pada kepentingan dan perlindungan hak-hak dasar Orang Asli Papua.
Namun hingga kini, lembaga tersebut belum memiliki kantor permanen yang layak. Hal ini dinilai menghambat pelaksanaan fungsi MRP secara optimal, khususnya dalam memperkuat posisi masyarakat adat di ruang-ruang pengambilan keputusan.
“Kami tidak menuntut kemewahan, tetapi menuntut keadilan. Lembaga kultur ini adalah wajah dari OAP. Sudah saatnya kita punya rumah sendiri, bukan menumpang,” tegasnya.
Ketua MRP PB juga mendesak pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk segera mengambil langkah konkret dalam percepatan pembangunan kantor MRP Papua Barat. Menurutnya, hal ini merupakan bentuk penghormatan terhadap amanat konstitusi dan semangat Otonomi Khusus.
Ia pun mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya tokoh adat dan pemangku kepentingan, untuk bersama-sama mengawal isu ini sebagai perjuangan kolektif menjaga martabat masyarakat adat.
“Ini bukan hanya soal kantor, tetapi soal harga diri dan eksistensi kita sebagai masyarakat adat yang dilindungi oleh hukum. Sudah waktunya negara benar-benar hadir,” pungkasnya. (ALW/ON)