Orideknews.com, Manokwari – Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) mengumumkan keputusan penting terkait status bakal calon (balon) Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Barat yang merupakan Orang Asli Papua (OAP).
Ketua MRPB, Judson Ferdinandus Waprak, menjelaskan bahwa sebelum penetapan, MRPB telah melaksanakan dua tahapan verifikasi yang mendalam.
Tahapan pertama adalah verifikasi administrasi, di mana MRPB meneliti keaslian dokumen syarat administrasi yang diserahkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Papua Barat.
Setelah itu, tahapan kedua berupa verifikasi faktual, yang melibatkan pengumpulan informasi dari Ketua Marga, Ketua Lembaga Adat, dan Tetua Adat. Proses ini bertujuan untuk memastikan keaslian status OAP dari masing-masing balon.
Sebagai lembaga yang mewakili kultural OAP, MRPB berkomitmen untuk melindungi harkat dan martabat masyarakat OAP, serta memperjuangkan pemenuhan hak politik mereka dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Waprak juga menegaskan bahwa mereka menjalankan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan bukan merupakan lembaga adat.
Dasar keputusan MRPB didasarkan pada sejumlah pertimbangan, yang meliputi:
- Pertimbangan Antropologis:
- Hubungan genealogis dengan suku asli Papua atau ras Melanesia.
- Kepemilikan wilayah adat, termasuk tempat tinggal.
- Sejarah marga dan suku.
- Pertimbangan Sosiologis:
- Relasi sosial antara marga dan suku balon dengan marga-marga serta suku-suku lain yang asli Papua.
- Kesepakatan sosial yang telah terjalin sejak dahulu.
- Pertimbangan Empiris dan Kepustakaan:
- Dokumen silsilah kedua balon yang telah terverifikasi oleh MRPB pada tahun 2017.
- Hasil penelitian antropologi di Suku Koiwai dan Suku Mairasi dari tahun 1982 hingga 2024.
- Pertimbangan Yuridis:
- Ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021.
- Putusan Nomor 29/PUU-IX/2011 oleh Mahkamah Konstitusi.
- Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Barat Nomor 4 Tahun 2023 tentang Orang Asli Papua.
Dalam hal ini, MRPB merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa penentuan dan pengakuan seseorang sebagai OAP harus dilakukan oleh marga dan suku yang memiliki hubungan genealogis dan kultural langsung dengan balon tersebut.
Waprak juga menegaskan bahwa mereka tidak akan terlibat dalam perdebatan atau pertikaian internal masyarakat adat Papua, yang dianggap sebagai urusan masyarakat adat itu sendiri.
“Kami menyadari bahwa keputusan ini mungkin menuai reaksi pro dan kontra, dan pihak yang tidak setuju diperbolehkan untuk mengajukan keberatan melalui jalur hukum yang ada,” ungkap Waprak.
Judson Ferdinandus Waprak menambahkan, harapan agar anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) periode 2024-2029, serta Kepala Daerah Papua Barat dan Papua secara umum dapat bersama-sama meninjau kembali undang-undang yang ada. Hal ini diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang bermanfaat bagi OAP dan negara Republik Indonesia. (ALW/ON).