Pengenalan
Buku Filsafat Ilmu ini merupakan bahan bacaan edisi terbaru yang dapat dijadikan referensi dan landasan berpikir dalam memahami filsafat klasik hingga kontemporer. Buku Filsafat Ilmu ini mengajak kita untuk memahami perkembangan pemikiran filosofis mengenai ilmu pengetahuan dan melihat segala macam bentuk ilmu pengetahuan dari perspektif keterbukaan.
Buku ini terdiri dari 9 Bab, yaitu Bab 1 Filsafat: Sebuah Perkenalan Singkat, Bab 2 Epistemologi, Bab 3 Filsafat Ilmu Pengetahuan, Bab 4 Rasioalisme Klask dan Modern, Bab 5 Empirisme Klasik dan Modern, Bab 6 Positivisme, Positivisme Logis dan Siklus Empiris, Bab 7 Pemikiran Kuhn dan Pluralisme Paradigma, Bab 8 Hermeneutika, Bab 9 Fenomenologi.
Sinopsis
Buku Filsafat Ilmu menyajikan Bab 1 Pengenalan singkat tentang Apa itu filsafat, Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Agama, Manfaat belajar Filsafat membentuk seorang
pembelajar untuk berpikir kritis dengan Tokoh-tokoh yang berperan penting sejarah filsafat seperti Plato, Aristoteles,Socrates, Thomas Aquinas dan Michel Foucault.
Bab 2 membahas tentang Epistemologi (filsafat ilmu pengetahuan) mengkaji berbagai sumber pengetahuan, metode, serta batasan-batasan dalam memperoleh pengetahuan yang sah.
Bab ini dimulai dengan pengantar tentang perbedaan antara pengetahuan dan kepercayaan, mengungkapkan bagaimana manusia membedakan antara apa yang dapat diyakini sebagai kebenaran dan apa yang mungkin salah atau tidak sah. Aristoteles adalah tokoh empirisme klasik sedangkan Francis Bacon, John Locke, Berkeley, David Hume adalah tokoh empirisme modern.
Bab 3 memaparkan perbedaan antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Fokus utama adalah pembahasan tentang metode ilmiah, yang sering dianggap sebagai inti dari proses ilmiah. Bab ini membahas Epistemologi dan Filsafat Ilmu Pengetahuan, pandangan positivisme dan post-positivisme.
Bab 4 membahas tentang pemikiran tokoh rasionalisme era klasik diwakili oleh Plato,Arsitoteles dan era modern pembahasan difokuskan pada pemikiran Rene Descartes dan Baruch Spinoza. Gagasan para filsuf besar seperti Plato dan Aristoteles, yang meyakini bahwa pengetahuan sejati bersumber dari dunia ide (Plato) atau penalaran logis yang didukung oleh pengamatan empiris (Aristoteles).
Pemikiran ini kemudian berkembang di era modern melalui tokoh seperti Rene Descartes, yang dianggap sebagai Bapak rasionalisme modern. Descartes, dengan prinsip terkenalnya Cogito, ergo sum (saya berpikir, maka saya ada), menunjukkan bahwa kepastian pengetahuan dimulai dari keraguan metodis yang mengarah pada kebenaran yang tak terbantahkan.
Kaum rasionalisme menjadikan rasio sebagai dasar yang terpercaya bagi ilmu pengetahuan. Dengan menghubungkan gagasan era klasik dan era modern, rasionalisme tetap relevan dalam menjelaskan peran akal dalam membangun dan mengkritisi pengetahuan di dunia kontemporer.
Bab 5, mendalami pemikiran tokoh empirisme baik yang hidup di era klasik maupun era modern, aliran filsafat yang menegaskan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi. Bagaimana empirisme klasik berkembang melalui gagasan para filsuf seperti John Locke, George Berkeley, dan David Hume. Locke memperkenalkan konsep yang kita kenal dengan nama tabula rasa, yang menyatakan bahwa manusia lahir tanpa pengetahuan bawaan dan memperoleh pemahaman melalui pengalaman.
Berkeley melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa keberadaan suatu benda hanya dapat dibuktikan melalui persepsi indrawi (idealitas persepsi). Sementara itu, Hume mengkritisi hubungan sebab-akibat,
menekankan bahwa hubungan ini tidak dapat diamati secara langsung melainkan hasil kebiasaan pikiran manusia dalam menafsirkan pengalaman.
Pada bagian tentang empirisme modern, bab ini membahas bagaimana pendekatan empiris berkembang sebagai dasar metode ilmiah, dipelopori oleh tokoh seperti Francis Bacon yang merumuskan metode induktif berbasis pengamatan dan eksperimen. Empirisme modern juga mengeksplorasi pengaruhnya dalam revolusi ilmiah, di mana eksperimen dan data empiris menjadi landasan untuk menjelaskan fenomena alam.
Bab 6 membahas positivisme dengan tokoh Aguste Comte. Gagasan Comte tentang positivisme dan nilai-nilai kemanusiaan. Fakta positivis adalah fakta atau yang nyata. Tokoh-tokoh seperti Moritz Schlick dan Rudolf Carnap mendukung penggunaan logika formal untuk menguji kebenaran pernyataan ilmiah, menolak metafisika sebagai sesuatu yang tidak bermakna karena tidak dapat diverifikasi secara empiris.
Positivisme logis menjadi fondasi bagi perkembangan ilmu modern, terutama dalam upayanya untuk menjadikan ilmu sebagai aktivitas yang objektif, bebas nilai, dan berbasis fakta. Pembahasan terkait tantangan yang dihadapi kedua pendekatan tersebut, termasuk kritik terhadap positivisme logis oleh filsuf seperti Karl Popper, yang memperkenalkan falsifikasi sebagai alternatif untuk verifikasi, dan keterbatasan siklus empiris dalam menangkap fenomena kompleks yang melibatkan variabel-variabel yang sulit diukur.
Bab 7 mengulas tentang pemikiran Thomas S. Kuhn dan Pluralisme Paradigma. dalam filsafat ilmu. Kuhn memperkenalkan konsep paradigma, yakni kerangka berpikir atau model dominan yang membimbing penelitian ilmiah pada suatu periode.
Menurut Kuhn, ilmu berkembang melalui siklus yang terdiri dari normal science (ilmu normal), crisis (krisis), dan scientific revolution (revolusi ilmiah), di mana paradigma lama digantikan oleh paradigma baru yang lebih mampu menjelaskan fenomena alam.
Dalam bab ini menguraikan perubahan paradigma tidak hanya bersifat logis tetapi juga dipengaruhi oleh faktor psikologis, sosial, dan historis, menjadikannya fenomena yang tidak sepenuhnya rasional. Bab ini juga mengupas kritik terhadap gagasan Kuhn, termasuk pandangan bahwa relativisme paradigma dapat mengancam objektivitas ilmu.
Bab 8, membahas Hermeneutika, cabang filsafat yang berfokus pada seni dan teori penafsiran, terutama dalam konteks teks, bahasa, dan makna. Bab ini menguraikan evolusi hermeneutika mulai dari pemikiran Friedrich Schleiermacher, yang menekankan pentingnya memahami maksud pengarang melalui analisis tekstual.
Selanjutnya, hermeneutika modern dikembangkan oleh Martin Heidegger dan Hans-Georg Gadamer, yang menggeser fokus dari interpretasi teks ke pemahaman eksistensial. Heidegger menekankan bahwa penafsiran selalu berakar pada keberadaan manusia dalam dunia (being-in-the-world), sementara Gadamer memperkenalkan konsep fusi horizon ( fusion of horizons), yang menyatakan bahwa pemahaman terjadi melalui dialog antara perspektif masa lalu dan konteks masa kini.
Bab 9 membahas fenomenologi. Dimulai dengan pemikiran Edmund Husserl, fenomenologi digambarkan sebagai upaya untuk memahami esensi dari suatu fenomena dengan mengesampingkan asumsi-asumsi yang tidak perlu melalui proses reduksi fenomenologis (epoché). Husserl percaya bahwa untuk memahami realitas, kita harus fokus pada cara fenomena dialami oleh subjek. Disini juga membahas kontribusi Martin Heidegger, yang memperluas fenomenologi ke wilayah ontologi dengan mengeksplorasi makna keberadaan manusia melalui konsep being-in-the-world. Bab ini ditutup dengan mengeksplorasi penerapan fenomenologi dalam berbagai bidang, seperti psikologi, sosiologi, seni, dan kajian agama..
Analisis
Buku ini menyajikan tema-tema utama dalam filsafat ilmu, seperti pengertian dasar filsafat, definisi ilmu, metodologi ilmiah, hakikat kebenaran, dan peran filsafat dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Penulis mengawali dengan mengulas pemikiran para filsuf klasik seperti Socrates, Plato dan Aristoteles, yang memberikan landasan pada cara pandang ilmu sebagai pencarian terhadap kebenaran hakiki. Selanjutnya, buku ini menjelajahi era modern oleh pemikiran para
filsuf seperti Descartes, Kant, dan Hegel, yang membawa paradigma baru dalam hubungan antara subjek dan objek ilmu dan ilmu pengetahuan.
Mengulas era kontemporer (kekinian) dari buku ini menjadi daya tarik tersendiri karena membahas pandangan filsuf-filsuf abad ke-20 seperti Karl Raimund Popper dengan Falsifikasi, Thomas Kuhn dengan teori paradigma, hingga Feyerabend dengan kritik terhadap metode ilmiah universal. Selain itu, buku ini juga mengaitkan filsafat ilmu dengan isu-isu global
kontemporer, seperti krisis lingkungan, etika teknologi, dan ilmu sosial kemasyarakatan.
Keunggulan buku ini terletak pada sistimatika dan isi buku, gaya penulisan yang sistematis dan mudah dipahami, menjadikannya relevan baik untuk pembaca
pemula,mahasiswa, kaum intelektual maupun akademisi. Setiap bab disajikan materi yang
disertai dengan analisis kritis dan contoh konkret yang membantu pembaca memahami konsep
yang kompleks.
Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan istilah-istilah filsafat, tersedia glosarium pada buku ini sehingga dapat membantu memahami kata atau konsep dalam buku yang tidak dipahami. Namun bagi pemula memerlukan waktu tersendiri untuk merenung dan
memahami filsafat ilmu itu sendiri.
Buku Filsafat Ilmu mengajak kita untuk senantiasa melihat segala macam bentuk ilmu pengetahuan dengan perspektif keterbukaan: terbuka untuk dikritisi, diuji, diteliti, serta dipertanyakan relevansi dan aktualitasnya bagi kehidupan umat manusia secara kontekstual.
Buku ini tidak hanya menjadi referensi utama dalam kajian filsafat ilmu, tetapi juga menawarkan perspektif baru bagi mahasiswa dan peneliti yang ingin memahami hubungan antara ilmu, masyarakat, dan kebudayaan.
Kesimpulan:
Secara keseluruhan, Filsafat Ilmu: Klasik hingga Kontemporer adalah buku yang menekankan pada topik peranan filsafat ilmu dalam perkembangan Ilmu Pengetahuan dan sangat direkomendasikan bagi pemula, mahasiswa, akademisi yang ingin mendalami filsafat ilmu, bahwa ilmu sebagai kajian filsafat perlu dipelajari terutama dalam memahami pergeseran paradigma dari era klasik hingga kontemporer. Buku ini memberi ruang seluas-luasnya untuk memahami konsep Filsafat Ilmu yang relevan dengan kebutuhan akademik di era modern.
Penulis adalah Iriwi Louisa S.Sinon, Afiliasi Program : Doktoral, S3 Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Malang Tahun 2024