
Orideknews.com, MANOKWAR – Fery Auparai, salah satu pengusaha asli Papua meminta Mejelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua Barat untuk menyelesaikan persoalan wilayah adat dan Stadarisasi Jual.
Pasalnya, apabila pemerintah daerah mau menghadirkan Investor sebanyak-banyaknya di Tanah Papua khusus di wilayah Papua Barat, pemeritah harus terlebih dahulu melihat persoalan hak ulayat, karena hak ulayat sampai dengan saat ini tidak punya standarisasi jual.
“Meski sudah ada Pabrik Semen. Tapi sampai dengan hari ini pabrik semen juga masih banyak meninggalkan sejuta persoalan terkait hak ulayat dan pemetaan wilayah adat, dan Pemda, MRP, dan DPR tidak boleh tutup mata,”kata Auparai yang ditemui, Orideknews.com, Jumat (22/06/2018).
Maka sebagai pengusaha, dirinya menyadari bahwa ketika para investor mau datang berinvestasi sudah barang tentu mereka (investor) ini tidak mau ada gangguan, karena ketika investasinya berjalan pastinya sudah diperhitungkan secara baik mengenai keuntungan dan kerugian.
“Saya sebagai pengusaha kecil yang hari ini punya pompa bensin, dan kapal tengker meskipun kecil. Tetapi ketika saya mau investasi saya sudah berhitung bahwa ketika saya buka pom bensin saya akan investasi Rp. 5 miliar sampai dengan Rp. 10 miliar. Tapi kira-kira ada ngak gangguan disitu,”ucapnya.
Lanjutnya, karena begitu terjadi gangguan dan terjadi staknan. Maka uang yang sudah dikeluarkan akan hangus serta terjadi kerugian dan itu persoalan yang paling dikatuki ketika investor sudah berbicara tentang tanah Papua, karena itu sudah berbicara tentang hal ulayat.
Sehingga kata dia, para investor yang ingin masuk untuk berinvestasi di Tanah Papua mereka (investor) ini sudah berpikir sebaik mungkin.
“Masalahnya, pamalangan dan lain-lain ini terjadi ketika orang sudah bangun infrastruktur dan pemilik hak ulayat mulai lakukan pemalangan. Kan tidak mungkin dalam jangka waktu yang begitu cepat investor yang mengalami masalah pemalangan ini memindahkan infrastrukturnya keluar dari tempat yang dipalang,”tuturnya.
Kemudian, sebutnya, jika sudah terjadi pemalangan. Bagaimana investor ini harus mengejar kerugian untuk menutupi apa yang sudah terlanjur diinvestasikan di atas tanah Papua. Sementara, hak ulayat ini tidak ada nilai satuannya dan tidak ada ujungnya.
Oleh sebab itu sebagai pengusaha asli Papua, dirinya menyarankan kepada MRP, DPR, Pemda agar duduk bersama untuk memberikan persoalan tersebut dalam bentuk tikar adat.
“Supaya kedepan sudah ada standarisasi. Dimana, apabila tanah itu ada di kelas nomor satu, maka kita sepakat dalam keputusan adat, 1 meter persegi harganya berapa. Tapi kalau investasi itu ada di tanah kelas 2 dan 3, maka minimal sudah harus ada standar belanja,”jelasnya.
Sehingga, lanjutnya, ketika investor itu masuk mereka sudah punya satu gambaran bahwa ketika mau berinvestasi di atas tanah tersebut akan ditemukan rill cost-nya berapa atau variabel cost-nya. Dimana, mengenai nilai jual objek pajak dan harga satuan tanah yang diputuskan pihak Pertanahan di wilayah tersebut, tetapi juga ada biaya hak ulayat yang harus di bayar.
“Jadi ketika, investor itu sudah mengeluarkan biaya maka sumua selesai dan tidak ada komplen dikemudian hari. Nah ini kalau bisa diatur oleh MRP, DPR, dan Pemerintah saya yakin investor bisa masuk. Memang harus ada standar belanja khusus untuk hak ulayat, karena ini yang tidak diatur sampai dengan hari ini,”imbuhnya.
Auparai menyebutkan, persoalan pemetaaan batas-batas wilayah adat dan ini juga harus menjadi perhatian serius oleh pemerintah daerah dengan mendapat dukungan dari MRP dan DPR. “Investor besar juga sangat sulit untuk masuk karena setiap pemilik hak ulayat tidak memiliki batas wilayah yang jelas,”kata dia.
Padahal, menurutnya, pemetaan wilayah adat ini sangat penting, karena apabila sudah pemetaan wilayah yang jelas. Kemudian, baru masuk bagaimana diberikan penghargaan kepada pemilik hak ulayat, namun harus dengan nilai satuannya yang jelas dan juga tidak merugikan pemilik hak ulayat.
“Tapi bisa juga ada pemilik hak ulayat yang tidak mau jual tanahnya, tapi dia (pemilik hak ulayat) ini mau tanah dalam bentuk saham dan tentunya harus diatur dengan jelas melalui notaris dan lain sebagainya agar tanah tersebut dapat dikontrak berapa tahun dan itu jauh lebih baik,”bebernya.
Tetapi, sebutnya, itu harus di atur dalam sebuah peraturan daerah khusus (Perdasus) sehingga ketika orang datang berinvestasi, sudah ada payung hukum yang jelas, tapi juga ketika terjadi benturan atau masalah sudah ada alat ukur yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
“Ini sangat penting dan saya berpikir untuk membuka peluang bagi para investor untuk masuk ke Tanah Papua. Jadi saya harapkan DPR Provinsi Papua Barat saat ini kalau bisa sebelum periode ini berakhik, tolong Perdasus Pemetaan Wilayah Adat di sahkan. Jangan menjadi pekerjaan rumah,”tandasnya. (FRE/ON)
