Orideknews.com, MANOKWARI – Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH mengkritik model pendekatan “diplomasi pembangunan” ala Presiden Joko Widodo.
Menurut Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) yang pernah meraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM ” John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 di Canada itu bahwa, Hal tersebut dilakukan dalam upaya pemerintah Indonesia “menutupi” isu Pelanggaran HAM yang Berat oleh negara ini atas hak asasi dan hak-hak dasar rakyat Papua yang mayoritas adalah Orang Asli Papua (OAP) sebagai bagian dari rumpun Ras Melanesia sepanjang lebih dari 50 tahun di atas Tanah airnya sendiri dan tanpa ada penyelesaian secara hukum.
” Pernyataan ini saya sampaikan kepada Presiden Jokowi dan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Pohukam) Wiranto sehubungan dengan “undangan” pemerintah Indonesia kepada para diplomat negara Kepulauan Solomon (Solomon Island) di bawah pimpinan Duta Besarnya, HE Salana Kalu berkunjung ke Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) pada hari Selasa, 24 April hingga Kamis, 26 April 2018 lalu,”. Ujarnya, Jum’at, (27/4/2018). Melalui pesan elektronik yang diterima orideknews.com
Kendatipun, tujuan pemerintah Indonesia adalah untuk menunjukkan apa yang sudah dibangun olehnya di Tanah Papua seperti, proyek pembangunan jembatan Holtekamp atau Stadion Olahraga Papua Bangkit di Kampung Harapan-Jayapura. Katanya.
” Namun sekali lagi saya ingin menyatakan bahwa inilah bentuk tindakan paling menyedihkan bahkan memalukan, karena pemerintah Indonesia hanya mau menunjukkan “wajah pembangunan” semata yang sudah menjadi rahasia umum sebagai kewajiban pemerintah manapun di bawah kolong langit dunia ini,” Jelasnya.
Hal itu sesuai benar dengan isi Resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Nomor 2504 tanggal 19 November 1969 bahwa, Pemerintah Indonesia menjalankan pembangunan sosial-ekonomi di Tanah Papua (West Papua) dengan dukungan dunia melalui Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank).
Diakui Warinussy, komitmen politik Indonesia dan dunia di bawah “pengawasan” PBB sesuai resolusi tersebut di bumi Papua dan pada saat yang sama sesuai konstitusi Indoensia dan Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM maupun Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM serta Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua.
” Di dalam konstitusi dan aturan perundangan tersebut, Pemerintah Indoensia wajib menyelesaikan berbagai bentuk tindakan pelanggaran HAM berkategori kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againts humanity) dan kejahatan genosida (genocida crime) yang diduga keras terjadi atas tindakan Negara ini sepanjang lebih dari 50 tahun di Tanah Papua (West Papua),” Pungkasnya.
Ungkap Warinussy, sangat keliru dan bersifat menyesatkan apabila ada pihak-pihak resmi di dalam jajaran Pemerintah Indonesia termasuk Pejabat Gubernur Papua saat ini dan Menko Polhukam Wiranto yang senantiasa terus “membual” di kawasan Pasifik maupun dunia internasional.
” Yaitu bahwa informasi yang disampaikan oleh sebuah organisasi legal internasional sejenis United Liberation Movement for West papua (ULMWP) tentang pelanggaran HAM di Tanah Papua tanpa penyelesaian dan bermuatan impunitas adalah berita bohong”, cetusnya.
Lebih lanjut, Kata Warinussy, justru Pemerintah Indonesia yang bertingkah “bohong” dengan sangat membatas akses para diplomat negara Kepulauan Solomon tersebut untuk hanya berbincang dengan pejaba Gubernur Papua di Jayapura maupun Sekda Papua Barat di Manokwari.
” Berkunjung melihat proyek-proyek pembangunan yang sangat tidak asimetris dengan kondisi faktual bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua seperti Wasior, Wamena, Paniai bahkan Biak berdarah maupun Sanggeng dan Aimas yang sama sekali tidak dilihat dan diketahui oleh para diplomat tersebut,” Tukasnya.
Diutarakan Warinussy, dalam kunjungan kali ini mereka “memuji” Indonesia karena sudah menjalankan kewajibannya membangun di Tanah Papua, tapi pertanyaan tentang seberapa banyak Orang Asli Papua (OAP) dapat memperoleh manfaat atau terlibat dalam proyek semacam itu? Tanya Warinussy.
” Ini pertanyaan yang mungkin sedang direnungkan dalam perjalanan para diplomat Solomon atas fasilitasi pemerintah Indonesia menyinggahi negeri nyiur melambai dan “bibir Manado” Sulawesi Utara pasca berkunjung ke Tanah Papua (West Papua) melihat model “diplomasi pembangunan” ala Indonesia yang ditampilkan guna “menutupi” Noda darah rakyat Papua sebagai bagian asli dari rumpun ras Melanesia yang menuju kepunahan di atas Tanah airnya sendiri sepanjang lebih dari 50 tahun terakhir ini”),” Tutup Warinussy. (RED/ON)