Orideknews.com, Manokwari – Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dari Dapil Papua Barat, Filep Wamafma, mengungkapkan kekhawatirannya mengenai lemahnya perencanaan pendidikan di daerah Papua Barat.
Menurutnya, pemerintah kabupaten dan dinas terkait, terutama di bidang pendidikan, ia menduga minimnya data konkret yang memadai mengenai kebutuhan sekolah-sekolah.
Filep menjelaskan, sekolah tidak beroperasi secara terpisah, melainkan berada di bawah kewenangan pemerintah kabupaten, khususnya Dinas Pendidikan.
“Di kabupaten, kita perlu mengetahui berapa jumlah SD, SMP, dan SMA, serta kebutuhan dan masalah yang dihadapi. Saat ini, kita belum sampai ke tahap itu,” ujarnya.
Setiap tahun, masalah terkait kebutuhan pendidikan, seperti pengadaan buku, kembali muncul. Filep menekankan pentingnya DPR dan pemerintah untuk menetapkan anggaran DIPA bagi Dinas Pendidikan berdasarkan data kebutuhan yang diajukan.
“Kepala sekolah (Kepsek.red) dan dewan guru di setiap jenjang pendidikan harus dilibatkan dalam mengusulkan kebutuhan mereka,” tambahnya.
Kondisi ini menyebabkan sekolah-sekolah terpaksa melakukan pungutan biaya untuk pembangunan kelas, pengadaan buku, dan honor guru. Filep menilai hal ini mencerminkan adanya kekurangan dalam pengumpulan data kebutuhan sekolah yang tidak diakomodir dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Selain itu, Filep menyebut bahwa anggaran pendidikan di Papua Barat sebenarnya sudah cukup, bahkan melebihi kebutuhan. Namun, masalahnya terletak pada manajemen dan pengolahan data konkret mengenai kebutuhan di setiap sekolah oleh dinas pendidikan provinsi dan kabupaten.
Ia memberikan contoh, Jika satu sekolah memiliki enam kelas dengan masing-masing 40 siswa, perlu menghitung jumlah total kebutuhan buku secara akurat. Dengan data yang jelas, perencanaan pendidikan dapat dilakukan dengan lebih baik.
Filep juga menyoroti, seringkali kepala sekolah tidak dilibatkan dalam proses perencanaan anggaran, yang menyebabkan mereka mencari solusi alternatif, termasuk memungut biaya tambahan dari siswa.
“Ini bukan kesalahan kepala sekolah, karena mereka terpaksa mengambil langkah tersebut ketika tidak ada solusi dari dinas pendidikan dan pemerintah kabupaten,” ujarnya.
Dia mengingatkan bahwa Undang-Undang Otonomi Khusus (OTSUS) mengalokasikan 30% dari dana OTSUS dan 35% dari Dana Bagi Hasil Migas untuk pendidikan.
“Dengan dana pendidikan yang signifikan, mengapa kita masih mengalami kekurangan?” tanyanya.
Menurut Filep, sektor pendidikan dan kesehatan belum menjadi prioritas utama, meskipun itu adalah alasan mendasar untuk memperbaiki undang-undang OTSUS dan meningkatkan dana OTSUS untuk sektor pendidikan dan kesehatan.
Filep Wamafma berharap pemerintah dapat lebih serius dalam menangani permasalahan pendidikan di Papua Barat agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan bagi masyarakat. (ALW/ON).