Orideknews.com, MANOKWARI – Pernyataan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) incumbent nomor urut 1 Ir.H.Joko Widodo dan K.H.Ma’aruf Amin dalam debat perdana mengenai topik hak asasi manusia lagi-lagi masih sebatas komitmen lama yang tak jelas pelaksanaannya, kata Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) melalui pers rilis yang diterima www.orideknews.com, Jum’at, (18/1/2019).
Menurut Warinussy, hal itu tercermin dalam paparan visi yang disampaikan capres Joko Widodo (Jokowi) bahwa pihaknya berkomitmen untuk menyelesaikan Pelanggaran HAM. “ Dalam slogannya Indonesia Maju Jokowi dan Cak Ma’aruf sama sekali belum menjelaskan langkah-langkah kongkrit yang dapat dilakukannya untuk menyelesaian pelanggatan HAM di Indonesia,” ucapnya.
Warinussy mengaku sama sekali meragukan komitmen Capres-Cawapres No.urut 1 dalam konteks visi dan misinya dalam penyelesaian pelanggaran HAM yang Berat di Indonesia dan khususnya di Tanah Papua.
Hal ini kata dia, didasari langkah nyata yang baru saja dilakukan oleh Jaksa Agung Mochammad Prasetyo dan jajarannya, yaitu dengan mengembalikan 9 (sembilan) berkas-perkara dugaan pelanggaran HAM Berat di Indonesia, termasuk Wasior 2001 dan Wamena 2003 di Tanah Papua pada tanggal 27 Desember 2018 lalu.
“ Pengembalian ke-9 berkas perkara tersebut sama sekali menghilangkan harapan rakyat Indonesia dan Papua, khususnya para korban Kasus Wasior dan Wamena yang sudah lebih dari 10 tahun menanti keadilan dan kepastian hukum atas peristiwa yang mereka alami akibat tindakan negara berdasarkan amanat Pasal 7, pasal 8 dan pasal 9 UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM,” ungkap Warinussy.
Kata dia, tindakan Jaksa Agung RI dan Komnas HAM RI tersebut semakin menyuburkan praktek impunitas negara atas rakyat korban pelanggaran HAM yang Berat di Indonesia, termasuk di Tanah Papua.
“ Berbanding terbalik dengan Capres-Capwapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang justru tidak menjelaskan komitmen politiknya dalam penyelesaian dugaan pelanggaran HAM Yang Berat apabila mereka dipercayakan memimpin Indonesia 5 tahun mendatang,” bebernya.
Kendatipun, Warinussy mengungkap bahwa, secara tersirat capres-cawapres no.1 menambahkan bahwa mereka akan memulai langkah penegakan hukum dan perlindungan HAM melalui reformasi kelembagaan, tindakan preventif, menumbuhkan budaya taat hukum dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Namun, menurut Warinussy langkah capres-cawapres no.1 maupun no.2 harus lebih jelas mengarah pada penataan infrastruktur penegakan hukum dan perlindungan HAM.
“ Seharusnya fokus pada aspek penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan masa kini menjadi perhatian dari kedua kandidat tersebut. Perubahan atas UU RI No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dalam aspek peningkatan dan penguatan bagi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) seharusnya menjadi perhatian utama,” jelas Advokat dan Pembela HAM Di Tanah Papua tersebut.
Ia membeberkan, kewenangan penyelidikan yang selama ini dipegang oleh Komnas HAM sudah saatnya ditambah dengan kewenangan penyidikan.
Sehingga, Komnas HAM memiliki kewenangan memaksa dalam konteks penegakan hukum di sektor perlindungan HAM di Indonesia. Berkenaan dengan itu, dalam jangka panjang perlu dilakukan revisi atas isi UU RI No.26 Tahun 2000 tersebut.
“ Sekaligus kedua kandidat apabika terpilih memberi porsi perhatian pada pengisian jabatan pejabat penegak hukum seperti Jaksa Agung seyogyanya berasal dari jajaran profesional atau birokrasi yang ahli di sektor HAM dan atau minimal berasal dari organisasi masyarakat sipil (civil society organizatio/CSO) yang memiliki pengalaman dan kompetensi di sektor advokasi HAM nasional dan internasional,” ucap Warinussy.
Khusus dalam upaya penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua, ia mengaku harus senantiasa mengacu pada amanat pasal 45 dan pasal 46 UU RI No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
“ Saya mengusulkan agar pemerintah mendatang perlu segera membentuk Pengadilan HAM Berat di Jayapura untuk kasus Wamena dan di Manokwari untuk kasus Wasior. Pembentukan Pengadilan HAM tersebut penting untuk membangun rasa percaya rakyat Papua berkenaan dengan praktek impunitas dan ketidakadilan para korban dari berbagai peristiwa pelanggaran HAM di Tanah Papua sepanjang lebih dari 50 tahun terakhir ini,” harap peraih penghargaan internasional di bidang HAM “John Humphrey Freedom award” tahun 2005 di Canada tersebut.(Redaksi).
error: Hati-hati Salin Tanpa Izin kena UU No.28 Tahun 2014 Tentang HAK CIPTA dan/atau UU RI No.19 Tahun 2016 atas perubahan UU RI No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)