Oleh: Yan Makabori, SP.,M.Si
Sejarah pembangunan pertanian di Indonesia, dimulai pada awal abad ke-20, ketika diadakan “Wevaart anderzoek” (penelitian kemakmuran), tentang sebab-sebab kemunduran kemakmuran diseluruh pulau Jawa dan Madura pada tahun 1904 – 1905. Simpulan penelitian ini kemudian terwujud pendirian “Departemen van landbouw, Nijverheid en handel.” (Departemen Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan) pada tahun 1911. Dalam tahun yang sama kemudian didirikan “Landbouw Voorticthings Dients/LVD”, (Dinas Penyuluhan Pertanian), yang bertugas menjembatani kebijakan pembangunan dari atas dan memediasi kebutuhan dan permasalahan kalangan masyarakat petani. Pada tahun 1913 di dirikan “Middlebare Landbouw School/MLS”, (Sekolah Pertanian Menengah Atas), dengan tujuan mempersiapkan tenaga-tenaga penyuluh pertanian yang nantinya bertugas menjadi motivator, mediator, fasilitator bagi masyarakat petani guna mensukseskan/memajukan pertanian rakyat.
Pada tahun 1963 – 1964 beberapa dosen dan sekelompok mahasiswa Institut Pertanian Bogor, melakasanakan uji coba Panca Usaha Tani, pada lahan seluas 104 ha di kabupaten Karawang. Hasil panen ternyata rata-rata meningkat hingga 100%. Pengalaman ini kemudian dikembangkan di 15 Provinsi dengan luasan areal sawah 11.066 ha dan dengan melibatkan 408 mahasiswa dari 10 perguruan tinggi dimana setiap 2 orang mahasiswa menangani 1 unit seluas 50 ha. Gerakan ini kemudian menjadi cikal bakal program Demonstrasi Massal (DEMS), yang tahun 1965 kemudian dijadikan program Bimbingan Massal (BIMAS), dan menajdi “platform” system kerja penyuluhan pertanian di Indonesia.
Dalam dinamika perjalanan pengabdian profesi penyuluhan pertanian yang dalam persepektif kebijakan pembangunan pertanian disebut sebagai “ujung tombak” pembangunan pertanian. Profesi penyuluhan pertanian mencapai puncak keberhasialn pengabdiannya ketika tercapai swasembada beras pada tahun 1984, dimana Presiden Soeharto menerima penghargaan dari FAO atas pencapaian prestasi tersebut.
Bagi setiap insan penyuluh pertanian keberhasilan tersebut adalah kepuasan . Walaupun secara formal, memang tidak pernah ada pengakuan akan keberhasilan swasembada beras sebagai keberhasilan pengabdian tanpa pamrih penyuluh pertanian. Sejarah Kehadiran Tenaga Penyuluh Pertanian di tanah Papua, dimulai ketika perekrutan tenaga lulusan Sekolah Menengah Atas (SPMA) Manokwari tahun 1977 yang kemudian dilatih di Balai Pendidikan dan Latihan Pertanian (BPLP) Sentani, untuk menjadi tenaga Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di tanah Papua. Perekrutan ini terus berlanjut setiap tahunnya baik lulusan SPMA Manokwari, maupun lulusan SPMA dari Jawa, Bali, Sulawesi Selatan dll. Para penyuluh pertanian iniah, sejak decade 80an menjadi “ujung tombak” pembangunan pertanian, diseluruh pelosok tanah Papua. Mereka inilah yang membuaka “keterisolasian” masyarakat petani terhadap informasi dan teknologi pertanian.
Catatan beberapa penyuluh pertanian senior, tentang perjuanan dalam menjalani tugas profesi dengan sarana prasaranan yang minim, merupakan tantangan yang luar biasa. Menghadapi gelombang laut ketika mengunjungi kampung-kampung pesisir, menghadapi setapak berlumpur dikampung-kampung berawa, mendaki bukit ketika mengunjungi kampung-kampung di pegunungan atau menantang terik matahari di hamparan sawah lokasi transmigrasi merupakan hal yang biasa dihadapi. Jika dilihat ”tanggung jawab” pengabdian penyuluh dibanding “nasibnya” sebagai abdi negara sangat berbanding terbalik. Penyuluh pertanian mungkin satu-satunya profesi di Indonesia yang tidak pernah memiliki kepastian “rumahnya”. Hampir setiap tahun berubah bentuk kelembagaannya. Penyuluh pertanian menjadi “korban”, akibat sering bergantiannya kelembagaan penyuluhan pertanian. Ketidakjelasan nasib ini semakin diperparah, ketika di era otonomisasi secara administrative kewenangan pengelolaan/pengurusan penyuluh pertanian diserahkan ke daerah.
Ketepurukan system penyuluhan pertanian era otonomi di tanah Papua, disebabkan oleh beberapa factor sebagai berikut: (1) Pemerintahan tidak/kurang memahami esensi tugas dan fungsi penyuluh pertanian, (2) Penempatan pimpinan lembaga penyuluhan pertanian (tingkat badan pelaksanan, kantor, bidang) dengan latar belakang tidak sesuai, (3) Ego sectoral SKPD lingkup pertanian yang menyebabkan keterhambatan koordinasi sectoral, (4) Kebijakan pembangunan daerah yang lebih menitikberatkan pada pembangunan fisik, sehingga relative pembangunn sumberdaya manusia termasuk sumberdaya manusia pertanian terabaikan. Pertanian sebagai sector unggulan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten masih sebatas wacana, tanpa implementasi kebijakan yang jelas. Hal ini terlihat jelas dalam alokasi anggaran yang berasal dari APBD, yang hanya agar dapat melangsungkan hidup.
Titik terang kepastian nasib penyuluh pertanian mulai terlihat ketika Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) pada tanggal 11 Juni 2005, sebagai salah satu dari “Triple TrackStrategy”, arah RPPK adalah mewujudkan, “Pertanian tangguh guna memantapkan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian serta peningkatan kesejahteraan petani”. Untuk mendukung RPPK, pada tanggal 3 Desember 2005, dicanangkan Revitalisasi Penyuluhan Pertanian oleh Menteri Pertanian di Banyuasin, Sumatera Selatan. Dilanjutkan dengan pencanangan Tahun Kebangkitan Penyuluhan Pertanian, pada tanggal 20 Mei 2006, di Guci, Jawa Tengah.
Pencanangan Revitalisasi Penyuluhan Pertanian di pandang oleh Insan Penyuluh Pertanian sebagai era kebangkitan penyuluhan pertanian.
Harapan akan kebangkitan semakin membuncah, ketika disahkannya Undang – Undang RI, Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K), yang mengatur tentang bentuk kelembagaan, system, metode penyelenggaraan penyuluhan secara tersinergi.
Sayangnya, implementasi Undang – Undang SP3K di provinsi Papua dan Papua Barat relative tidak berjalan sesuai harapan. Dibeberapa daerah kabupaten diperlukan perjuangan yang panjang dan luar biasa untuk mewujudkannya dan dibeberapa daerah sama sekali tidak bergaung.
Dewasa ini, sesuai kebijakan nasional yang mengemukakan efisiensi efektivitas pelayanan public, yang terwujud dalam perampingan lembaga – lembaga pemerintahan, maka semakin hilanglah lembaga penyuluhan pertanian.
Kebijakan nasional sector pertanian, diarahkan pada Peningkatan produktivitas dan produksi hasil pertanian guna pemenuhan kebutuhan pangan, bahan baku industry, melalui upaya peningkatan mutu intensifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi dan konservasi pertanian. Implementasi dari kebijakan tersebut adalah munculnya program – program prioritas seperti Upsus Padi, Jagung, Kedelei (PAJALE) dan Upsus Sapi Induk Wajib Bunting (SIWAB).
Para petani dan pelaku usaha pertanian lainnya didorong untuk memanfaatkan berbagai “Peluang dan Insentif”, yang disiapkan guna mengembangkan usaha taninya dalam kerangka mewujudkan tujuan pembangunan pertanian.
Pertanyaan untuk kita, adalah “Mungkinkah masyarakat petani di tanah Papua mampu memanfaatkan berbagai peluang dan insentif yang telah disiapkan tersebut?” Kita bersama-sama tahu jawabanya, bahwa diperlukan upaya – upaya khusus yang terencana secara baik, untuk mendorong masyarakat kita, agar ada dalam “Posisi (level) yang sama” untuk meraihnya.
Pertanyaan berikut adalah : “Siapakah yang memiliki tuga mempersiapkan masyarakat petani kita agara memiliki kemampuan untuk juga memanfaatkan peluang dan insntif tersebut?” Kitapun tahu jawabannya, satu – satunya profesi yang memiliki tanggung jawab tersebut adalah penyuluh pertanian.
Untuk itu sangat diperlukan kearifan dari penentu kebijkan daerah untuk melihat dan menempatkan kelembagaan daerah yang tidak saja mengacuh pada kebijakan nasional tetapi juga dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan spesifik masyarakat Papua, khususnya masyarakat petani local.
Bukankah Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus diberikan agar kita mampu mempercepat penuntasan masalah ketertinggalan kita, yang tidak dapat diakomodir dalam berbagai program pembangunan pertanian nasional?