Catatan: Yan Christian Warinussy, SH
Tanggal 5 Februari 2021 dirayakan oleh semua umat Kristiani di Tanah Papua sebagai Hari Pekabaran Injil (PI) ke-166 Tahun.
Perayataan HUT PI ke-166 tersebut sesungguhnya sebagai pertanda peringatan atas perjalanan “hidup mati’ 2 (dua) orang zendeling, yaitu Carl Willem Ottouw dan Johan Gottlob Geissler.
Rencana perjalanan ke Tanah Papua dari Benua Eropa, lebih tepatnya tanah Jerman dimulai pada tahun 1851, tanggal 27 Oktober, saat dimana Geissler diterima sebagai murid di rumah Gossner, dimana dia didik dalam kehidupan doa dan pembacaan Firman yang sungguh serta dalam mempelajari berbagai pengetahuan.
Bulan Februari 1852, Geissler berpamitan dengan kedua orang tuanya untuk memulai perjalanannya dengan misi luar negeri bersama seorang lain bernama Schneider. Perjalanan dari benua Eropa hingga tiba di Tanah Papua, Pulau Mansinam memakan waktu 3 (tiga) tahun.
Pasti kita akan terheran-heran jika mengetahui bahwa perjalanan Geissler bersama rekannya Schneider, sebagian besar ditempuh dengan berjalan kaki untuk menghemat biaya. Mereka sempat menginap beberapa hari di Negeri Belanda, sebelum akhirnya mereka dipertemukan dengan seorang misionaris lain bernama Ottouw yang juga telah diutus sebelumnya dengan tujuan yang sama (Tanah Papua atau Nieuw Guinea saat itu).
Pada malam hari, tanggal 26 Juni 1852, Geissler bersama rekannya Schneider dan Ottouw memulai perjalanan laut dengan menumpang kapal Abel Tasman dan berangkat dari pelabuhan laut Rotterdam menuju Batavia (kini Jakarta). Sebelum berangkat, mereka bersama-sama berdoa dan menyerahkan diri mereka dengan sukacita ke dalam pemeliharaan tangan TUHAN.
Saya teringat akan kata-kata mantan Ketua Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua, Pendeta Emiritus Willem Maloali : “iman macam apa ini yang bisa menggerakkan dan membawa anak muda Geissler dan rekannya hingga mau datang membawa kabar sukacita (Injil) kepada orang-orang Papua kala itu?”.
Sesungguhnya, saya menemukan ada 2 (dua) alasan yang menggerakkan Geissler, pemuda asal Langenreichenbach dekat Togau, Jerman tersebut, yaitu : pertama, bahwa sejak mudanya di Jerman, dia sudah terpanggil lewat aktivitasnya sebagai pemuda gereja untuk ikut mengabarkan Injil ke Tanah Papua.
Kedua, karena Perintah Bukita Zaitun di dalam Kitab Injil Matius 28:18-20 yang berbunyi : “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu, pergilah jadikan semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Diperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.
” Mereka bertiga tiba pada tanggal 7 Oktober 1852 di pelabuhan Batavia dan mereka kemudian diuji kesabarannya selama satu setengah tahun oleh Tuhan. Hingga pada bukan April 1854 ada kesempatan untuk mereka meninggalkan pulau Jawa untuk menuju ke Pulau Papua sebagai tanah kerinduan mereka. Perjalanan dengan kapal laut melalui Surabaya dan Makassar hingga tiba di Ternate pada akhir Mei 1854.
Di Ternate, Ottouw dan Geissler belajar bahasa Papua selama setengah tahun. Dari Ternate juga kedua zendeling ini menerima surat jdari Sultan Ternate yang ditujukan kepada para kepala suku untuk melindungi dan menolong mereka jika mereka kekurangan makanan.
Bukan Januari 1855, Ottouw dan Geissler berangkat menumpang kapal Ternate dan tiba di Mansinam, Hari Minggu, 5 Februari 1855. Geissler menulis dalam buku hariannya : “kalian tidak dapat membayangkan betapa besarnya sukacita kami pada saat akhirnya dapat melihat tanah tujuan kami. Minggu pagi pada jam 6 bersamaan dengan fajar yang merekah. Jangkar dibuang untuk berlabuh di Teluk Doreri.
Matahari terbit dengan indahnya. Ya, semoga matahari yang sebenarnya, yaitu Rahmat Tuhan menyinari kami dan orang-orang kafir yang malang itu, yang telah sekian lamanya merana dalam kegelapan. Semoga Sang Gembala Setia mengumpulkan mereka di bawah tongkat-Nya yang lembut! Di dalam Nama Tuhan kami menginjak tanah ini!” Oleh Pendeta Reiner Schneumann dalam bukunya berjudul : Fajar Merekahh Di Tanah Papua, Hidup dan Karya Rasul Papua, Johann Gottlob Geissler (1830-1870) dan Warisannya Untuk Masa Kini.
Pendeta Reiner menulis pada halaman 28 buku itu, sebagaimana tindakan yang terakhir yang mereka lakukan pada saat berangkat dari Eropa, maka yang pertama mereka lakukan adalah berdoa. Mereka masuk ke dalam semak-semak, berlutut dan mencurahkan isi hati mereka. Mereka memohon kepada Tuhan “untuk memperoleh kekuatan, hikmat dan terang, agar dapat memulai pekerjaan dengan baik dan agar Tuhan mengasihani orang-orang kafir yang malang dan merana itu”.
Inilah awal perjalanan Ottouw dan Geissler selama kurang lebih 3 (tiga) tahun dari Tanah Jerman dan Negeri Belanda di Eropah hingga melalui Pulau Jawa, Sulawesi dan Halmahera hingga tiba di Pulau Mansinam, Teluk Doreri, Manokwari untuk tujuan Pekabaran Injil ketika itu, Mingu 5 Februari 19855. Yang saat ini diperingat usianya ke 166 Tahun oleh kita semua.