Orideknews.com, Manokwari, – Pembangunan Balai Latihan Kerja (BLK) Provinsi Papua Barat di Kabupaten Manokwari Selatan (Mansel) terhambat karena permasalahan sertifikat tanah.
Plt Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Papua Barat, Jendri Salakory, menjelaskan bahwa penyelesaian hak ulayat dan sertifikasi tanah menjadi kendala utama dalam melanjutkan pembangunan gedung BLK tersebut.
Proyek yang membutuhkan anggaran sekitar Rp 120 miliar ini direncanakan bertahap. Beberapa bangunan telah selesai dibangun, termasuk dua workshop, perumahan untuk pejabat struktural dan instruktur, serta rumah genset. Namun, pembangunan gedung utama BLK masih tertunda.
Menurut Salakory, Pemda Mansel bertanggung jawab atas penyelesaian pembebasan tanah dan sertifikasi. Meskipun Pemda Mansel telah melakukan pembayaran sebagian, proses tersebut belum tuntas sehingga sertifikat tanah belum diterbitkan atas nama Pemda Mansel untuk kemudian dihibahkan kepada Pemprov Papua Barat. Hal ini sesuai dengan petunjuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang mensyaratkan sertifikat tanah sebagai prasyarat melanjutkan pembangunan.
“Pembangunan harus dilanjutkan, namun harus menyelesaikan status tanah terlebih dahulu dan harus bersertifikat,” tegas Salakory.
Ia menyebut, kurang lebih Rp70 miliar lagi dibutuhkan untuk menyelesaikan pembangunan gedung BLK secara keseluruhan. Namun, penyelesaian masalah tanah menjadi prioritas utama sebelum pembangunan dapat dilanjutkan.
Salakory mengatakan pembangunan BLK bukan mangkrak, melainkan tertunda karena tahapan yang harus dilalui, termasuk pembebasan hak ulayat.
Ia berharap Pemda Mansel segera menyelesaikan permasalahan tanah agar pembangunan gedung BLK Provinsi Papua Barat di Mansel dapat segera dilanjutkan.
Sementara itu, Ketua Komite DPD Republik Indonesia, Dr. Filep Wamafma, SH.,M.Hum, C.L.A menegaskan, salah satu fokus utama advokasi DPD RI adalah percepatan pembangunan Balai Latihan Kerja (BLK) di Papua Barat.
Menurut Dr. Filep Wamafma, pembangunan BLK sangat penting untuk meningkatkan skill putra-putri Papua agar mampu bersaing di pasar kerja internasional dan tidak hanya bergantung pada sektor ASN.
“Kelemahan kita dalam perekrutan tenaga kerja di Papua adalah di sisi skill, terutama untuk memenuhi standar perusahaan internasional,” ujarnya.
BLK diharapkan dapat menjadi solusi untuk mempercepat pembangunan dengan memberikan pelatihan vokasi yang relevan.
Selain itu, DPD RI juga mendorong evaluasi Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) ketenagakerjaan di Papua Barat.
Dr. Filep menyoal implementasi aturan 80:20 (80% tenaga kerja lokal, 20% tenaga kerja non-lokal) yang masih menghadapi kendala.
“Kita harus mengevaluasi Perdasus kita. Bagaimana jika perusahaan asing tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan? Perdasus harus menjawab kebutuhan pasar, tidak hanya bicara kualitas dan kuantitas, tapi juga output-nya,” beber Filep.
Dr. Filep juga mengapresiasi kinerja Disnakertrans Papua Barat yang telah bekerja maksimal. Namun, ia juga menilai pentingnya peningkatan pengawasan dari pemerintah pusat melalui Kementerian terkait.
Ia berjanji akan memanggil Menteri terkait dalam rapat kerja untuk membahas berbagai program ketenagakerjaan di Papua Barat, dengan harapan Papua Barat dapat menjadi lokomotif dalam pengembangan skill tenaga kerja melalui BLK.
“Kita akan sampaikan semua program ini ke Menteri agar Papua Barat bisa menjadi contoh dan bagaimana kita mengasah skill melalui BLK,” tutup Dr. Filep.