JAKARTA – Pada tahun 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua Barat sebesar 65,89, naik 0,63 poin dibandingkan tahun 2021, sedangkan IPM Provinsi Papua sebesar 61,39, naik 0,77 poin. Sayangnya peningkatan IPM ini tidak mengubah posisi kedua provinsi secara nasional. Persoalan ini terus disuarakan oleh anggota DPD RI Provinsi Papua Barat Filep Wamafma.
“Sejak Otonomi Khusus (Otsus) jilid I, persoalan IPM Provinsi Papua dan Papua Barat selalu terendah diantara provinsi lain. Saya tidak ingin menegasikan semua aspek lain, tapi menurut saya, hal yang paling penting kenapa Orang Asli Papua (OAP) seolah-olah selalu dilihat sebelah mata, berada di urutan bawah, ialah lantaran persoalan pendidikan,” kata Senator Filep, Senin (23/1/2023).
Pasalnya, data BPS hingga tahun 2021 menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah (APS) untuk SD dan SMP di Papua dan Papua Barat masih terendah dan di bawah rata-rata APS Nasional. BPS juga mencatat bahwa 33,58 % penduduk Papua usia 15 tahun ke atas, tidak memiliki ijazah.
Selain itu, Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) di kedua provinsi ini juga masih berada di bawah rata-rata nasional. Menurut Filep, hal ini tentu saja akan berhubungan dengan kualitas SDM.
“Contohnya saja, Laporan Bank Indonesia tentang Perekonomian Papua Barat Tahun 2022 menyebutkan bahwa SDM Papua Barat mengalami penurunan di sektor tenaga kerja berpendidikan tinggi seperti diploma dan sarjana yaitu sebesar -1,18% pada Februari 2022. Maka memang sangat sulit untuk bersaing,” papar Filep.
Lebih lanjut, Senator yang juga akademisi ini lantas menyoroti keterpurukan pendidikan di Papua dengan adanya peruntukan dana Otsus yang digelontorkan Pemerintah untuk pendidikan masyarakat Papua.
“Total dana Otsus sejak 2002 sampai 2022 mencapai 1.092 T. Bahkan transfer ke daerah dan dana desa mencapai 702,3 T, paling tinggi secara nasional. Tapi coba kita lihat, pendidikan di Tanah Papua seolah berjalan di tempat. Saya pernah mengeluhkan bagaimana persentase porsi belanja urusan pendidikan di Papua dan Papua Barat malah tertinggi di belanja pegawainya. Fokusnya pada operasional dan administrasi pegawai. Kalau seperti ini, esensi kemajuan pendidikan di Papua dikhawatirkan tidak akan tercapai,” tegas Filep lagi.
Berkaitan dengan hal itu, Filep kemudian mengingatkan kembali perihal perintah regulasi. Ia memaparkan, Pasal 34 ayat (3) huruf e angka 2 menyebutkan bahwa penerimaan yang telah diperuntukkan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan sebesar 1,25% dari plafon DAU nasional, ditujukkan paling sedikit 30% untuk belanja pendidikan. Di Pasal 36 ayat (2) huruf a juga disebutkan bahwa untuk DBH Minyak dan Gas, 35%nya diperuntukkan bagi belanja pendidikan.
Untuk melaksanakan itu, maka Pasal 56 menegaskan bahwa Pemprov dan Pemkab bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan sesuai kewenangannya, yang kemudian tertuang dalam PP 106 Tahun 2021. Selanjutnya, UU Otsus juga mewajibkan Pemprov dan Pemkab untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi bagi OAP, menyediakan satuan pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pendidik dan tenaga kependidikan.
Wakil Ketua Komite I DPD RI ini juga mengatakan bahwa secara implementatif, PP 107 Tahun 2021 dan PP 106 Tahun 2021 mengatur lebih lanjut perintah UU Otsus. Khusus untuk pendidikan, Pasal 3 PP 107 Tahun 2021 menyebutkan bahwa kebijakan penerimaan dalam rangka Otsus dikelola secara efektif, efisien, transparan, melibatkan partisipasi masyarakat, keberpihakan pada OAP, yang meliputi pemerataan pelayanan dan peningkatan kualitas pendidikan dengan mempripritaskan OAP, soal kewenangan Pemprov dan Pemkab terkait otonomi pendidikan tersebut.
“UU ini menjadi solusi, untuk keberpihakan terhadap dunia pendidikan di Papua. Oleh sebab itu, tata kelola kebijakan di bidang pendidikan wajib dievaluasi total oleh pemerintah Daerah. Persentase dana Otsus dan afirmasi kepada OAP adalah perintah UU Otsus untuk mengafirmasi OAP-nya. Jadi jika di era Otsus masih ada persoalan pendidikan, itu menunjukkan bahwa orientasi kita tidak berada pada tujuan pembangunan dan masa depan OAP dalam dunia pendidikan”, tegas Filep.
Filep menjelaskan, lampiran PP 106 Tahun 2021 sudah memaparkan secara lex scripta dan lex stricta, tentang sejauh mana kewenangan Pemprov dan Pemkab terkait pendidikan dalam rangka Otsus. Ia menekankan bahwa pada prinsipnya adalah afirmasi terhadap OAP, bahwa OAP harus memperoleh pendidikan yang bermutu bahkan gratis.
“PP 106 Tahun 2021 meletakkan kewenangan untuk Pemprov dan Pemkab untuk pemberian beasiswa diprioritaskan OAP. Untuk Pemprov, kewenangannya ialah penyediakan fasilitas pembiayaan pendidikan bagi setiap OAP untuk menjamin setiap OAP memperoleh pendidikan mulai PAUD sampai pendidikan tinggi tanpa dipungut biaya alias gratis,” katanya.
“Sementara Pemkab punya kewenangan untuk menyediakan pendidikan layanan khusus diprioritaskan OAP yang punya potensi kecerdasan dan bakat istimewa, atau berada di daerah terpencil/terbelakang, daerah dengan kondisi masyarakat adat terpencil. Demikian halnya juga para pendidik dan tenaga kependidikan, harus ditingkatkan kualitasnya di mana Pemprov dan Pemkab punya kewajiban untuk hal tersebut”, jelas Filep secara terperinci.
Di akhir penjelasannya, akademisi STIH Manokwari ini meminta komitmen Pemerintah Pusat, Pemprov dan Pemkab, untuk memajukan pendidikan sebagai roh dari Otsus Papua.
“Bertahun-tahun berada dalam naungan NKRI, kenapa masalah Papua selalu sama? Jika bukan pendidikan ya kesehatan. Jika kedua hal itu sedang ditangani, giliran diskriminasi dan konflik berbasis HAM menjadi masalah. Jadi tolong seriuslah. Referendum yang jadi tanda ikutnya OAP ke NKRI, seharusnya memberi jawaban mengapa OAP sampai sekarang hanya seperti ini saja,” tutup Filep Wamafma. (***/ALW/ON)