Orideknews.com, MANOKWARI, – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan C Warinussy, SH memberi pandangan terhadap langkah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) memulai Dialog Papua-Jakarta.
“Sebagai Advokat saya ingin mengupas mulai dari dasar hukum tentang keberadaan lembaga Komnas HAM RI tersebut. Yaitu adanya Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Komnas HAM RI,” ujar Warinussy.
Kata dia, didalam pasal 1 dari Keppres tersebut dikatakan : “Dalam rangka pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia, dibentuk suatu komisi yang bersifat nasional dan diberi nama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya dalam Keppres ini disebut Komisi Nasional.”
Kemudian, di dalam pasal 4 Keppres ini disebutkan bahwa Komnas HAM bertujuan pertama, membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal HAM.
Kedua, meningkatkan perlindungan HAM guna mendukung terwujudnya tujuan pembangunan nasional yaitu pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Lanjut Warinussy, hak tersebut pula disebutkan di dalam Bab III tentang Komnas HAM RI pada pasal 75 dari UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM. Secara tersurat sama sekali tidak nampak adanya landasan hukum bagi Komnas HAM RI untuk menjalankan tugas sebagai mediator atau fasilitator dialog dimaksud.
“Tapi secara tersirat bisa “dipandang” ada landasan hukum bagi Komnas HAM RI untuk bertemu para pihak yang hendak terlibat sebagai aktor dalam Dialog Papua-Jakarta tersebut. Persoalannya sekarang adalah apakah jika Presiden bersama pihak TNI dan Polri setuju untuk berdialog dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM),” jelasnya.
Dia menilai, apakah Presiden dan Panglima TNI dan Kapolres telah menunjuk Komnas HAM RI sebagai pihak yang bisa memfasilitasi dimulainya langkah dialog dimaksud? tanya Warinussy.
“Ini hak penting yang patut dijawab lebih dahulu, sebelum Komnas HAM RI mengambil langkah untuk bertemu dengan pihak-pihak di Tanah Papua seperti TPN PB dan OPM serta kelompok resisten lainnya seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB), West Papua National Authority (WPNA) dan kelompok lainnya,” tutur dia.
Pernyataan salah satu pimpinan OPM Jeffry Bomanak Pagawak belum lama ini bahwa, pihaknya (OPM) menolak kehadiran Komnas HAM RI selaku “mediator” dialog.
Menurutnya, karena sesuai langkah dialog bahwa yang namanya mediator sangat penting disepakati oleh para pihak yang hendak terlibat atau dilibatkan sebagai aktor sejak awal.
“Jadi semestinya kalau Presiden dan jajaran Negara Indonesia setuju untuk berdialog dengan TPN PB dan OPM serta pihak-pihak di Tanah Papua, maka perlu dimintai persetujuan para pihak di Tanah Papua itu apakah mereka setuju berdialog dengan pemerintah Indonesia? Jika setuju dialog Jakarta-Papua ini tercapai, maka langkah berikut adalah memberi kesempatan kepada mereka untuk mengusulkan siapa mediator di dalam dialog dimaksud,” terang Warinussy.
Dirinya menerangkan bahwa, peran untuk memulai dialog ini sesungguhnya sudah dilakukan oleh Jaringan Damai Papua (JDP) sejak tahun 2010 saat saudara Pater Neles Kebadabi Tebay dan Dr.Muridan S.Widjojo masih hidup. Langkah JDP sejak dahulu selalu secara kontinyu mendorong semua pihak di Jakarta dan Tanah Papua tentang pentingnya berdialog dengan tanpa mengedepankan kekerasan demi mengakhiri konflik di Tanah Papua yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun ini.
“Oleh sebab itu menurut pandangan saya sebagai Advokat HAM di Tanah Papua yang pernah menerima penghargaan internasional bidang HAM John Humphrey Freedom award Tahun 2005 di Canada agar Presiden Joko Widodo dapat mengingat janjinya kepada 14 orang Papua Barat agar hadir bersama Pater Neles Kebadabi Tebay di Istana Merdeka Jakarta tanggal 15 Agustus 2017, guna mengingatkan bahwa dialog adalah cara damai yang sebaiknya menjadi pilihan Presiden dan Negara Indonesia dalam menyelesaikan persoalan konflik sosial politik di Tanah Papua sejak sekarang,” tutup Warinussy. (***/ALW/ON)