Atas persoalan HAM Papua saat masa lalu dan saat ini, maka Ketua Pansus Papua DPD RI Dr. Filep Wamafma, SH., M.Hum memandang perlu adanya tindakan yang dilakukan oleh negara yang diinisiasi oleh DPD RI.
Wamafma menilai, respon masalah pelanggaran HAM Papua. Negara perlu pahami bahwa, Papua sangat riskan, maka harus ada tindakan. Hal itu tentu lalu yang harus bertanggung jawab adalah Negara, dimana harus membuka kembali persoalan Papua.
“Apakah kita generasi saat ini diam begitu saja? Ataukah kita ini menjadi penonton? Sementara para korban pelanggaran HAM yang lalu sudah tiada, namun para korban di Papua masih tercatat. Inilah beberapa pertanyaan yang kemudian muncul dalam benak kita selama ini di Papua,” kata Filep Wamafma saat jumpa awak media di Manokwari, Jumat siang.
Menurut Wamafma, ketika rakyat Papua teriak merdeka di jalan bisakah direspon negara untuk memisahkan Papua?. Dengan demikian, siapa yang beranikan diri untuk menyuarakan masalah Papua agar ada solusi terbaik dalam persoalan Papua.
Kata Wamafma, giliran aktivis Papua dan masyarakat asli Papua dari berbagai lembaga organisasi baik non ilegal dan ilegal teriak persoalan Papua dan terjadi kerusuhan, maka akan berhadapan dengan masalah hukum di negara ini, maka Pansus Papua DPD RI dibentuk untuk mencoba bekerja sesuai kemampuan anak asli Papua yang sudah tergabung dalam Pansus Papua ini.
Ia mengatakan Pansus Papua bukan segalanya dalam menyelesaikan masalah Papua, namun mencoba melakukan berbagai langkah dan cara untuk menyelesaikan masalah Papua di masa lalu.
Persoalan Papua, lanjut Wamafma, belum ada konsisten dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah Papua, maka melalui mekanisme Komite 1 DPD RI, maka memprakarsai adanya Pansus Papua ini.
Pandangan Amnesti internasional, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan Kontras sebut Wamafma, saat pertemuan, pihaknya meminta pandangan tentang data yang diketahui dan miliki tentang Papua.
“Di sana tiga lembaga itu menjelaskan kepada Pansus Papua bahwa persoalan Papua muncul ketika dengar pendapat referendum pada tahun 1961 dan sebelum berlakunya otonomi khusus,” ungkapnya.
Pelanggaran lainnya, yang disampaikan adalah ekonomi, sosial, hukum dan politik. Dimana masalah ini pemicu hingga menyebabkan masalah Papua belum dapat diselesaikan.
“Untuk masalah hukum di tanah Papua, maka orang Papua selalu dikategorikan sebagai makar, kriminal, dan menjastifikasi bahwa ketika ada demo mahasiswa pasti dibilang makar sehingga muncullah tindakan hokum,” beber Wamafma.
Dia menambahkan, Pansus Papua akan terus melakukan langkah-langkah yang bijak dan sesuai keinginan masyarakat adat Papua, mahasiswa, tokoh politik Papua, dan aktivis pejuang Papua untuk berdiskusi dari semua sisi dan mencari solusi penyelesaian masalah Papua. (EN/ON)