Orideknews.com, Manokwari – Kuasa Hukum Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB), Metuzalak Awom, mengungkapkan rasa syukur atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura yang menolak gugatan terhadap keabsahan Wakil Gubernur Papua Barat, Mohammad Lakotani. Putusan tersebut dikeluarkan pada Rabu (20/11/2024) pukul 20.30 WIT dan termuat dalam sistem e-court.
Menurut Metuzalak, dalam putusan tersebut, majelis hakim menerima eksepsi yang diajukan oleh MRPB terkait kepentingan hukum (legal standing) dan menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima. Selain itu, penggugat juga dihukum untuk membayar biaya perkara.
“Keputusan ini menjadi akhir dari pemeriksaan perkara nomor 22/G/2024/PTUN.JPR di tingkat pertama. Bagi pihak yang tidak sependapat atau keberatan atas putusan ini, masih terbuka peluang untuk mengajukan banding sesuai Pasal 122 dan 123 Undang-Undang Peratun,” jelas Metuzalak.
Metuzalak menegaskan bahwa putusan Majelis Hakim juga memperkuat hasil verifikasi faktual MRPB terkait keaslian Mohammad Lakotani sebagai Orang Asli Papua (OAP) karena telah sesuai dengan mekanisme dan peraturan perundang-undangan yang berlaku oleh sebab itu SK MRPB tersebut adalah Sah.
“Majelis hakim telah menerima hasil verifikasi faktual MRPB, yang menyatakan bahwa calon Wakil Gubernur Papua Barat, Mohammad Lakotani, adalah Orang Asli Papua, sehingga SK MRPB tersebut juga tidak menimbulkan kerugian yang diderita oleh Penggugat dan atau orang lain di kalangan Masyarakat Adat Suku Mairasi,” ungkap Metuzalak.
Dalam pernyataannya, Metuzalak memberikan pesan penting kepada masyarakat adat, terutama Dewan Adat, agar berhati-hati dalam mengambil keputusan. Ia menyoroti pentingnya berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, terutama marga yang memiliki hak ulayat, sebelum membawa persoalan ke ranah hukum.
“Dewan Adat memiliki posisi yang sangat tinggi. Namun, keputusan sepihak untuk menggugat MRPB tidak mewakili seluruh marga dan suku. Jangan lagi ada tindakan mengatasnamakan adat tanpa koordinasi. Duduk dan bicarakan dulu dengan rakyat, adat, dan marga yang bersangkutan sebelum mengambil langkah hukum,” tegasnya.
Metuzalak juga berharap Dewan Adat lebih bijaksana dalam bertindak, khususnya dalam melibatkan keret atau marga yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam struktur adat Papua. “Keret adalah pemegang hak atas tanah, laut, dan udara. Jangan sampai keputusan sepihak merendahkan harkat, martabat, dan merugikan adat itu sendiri,” ujarnya.
Metuzalak mengajak penggugat untuk tidak memandang putusan ini sebagai kekalahan, melainkan sebagai kesempatan untuk memperbaiki hubungan. Ia menyarankan agar semua pihak duduk bersama dengan MRPB dan Mohammad Lakotani sebagai anak Kaimana, untuk menyelesaikan perbedaan secara kekeluargaan.
“Masalah hukum seharusnya menjadi jalan terakhir. Jika ada hal yang kurang baik, mari kita selesaikan secara kekeluargaan. Kita semua adalah keluarga besar Papua. Jangan biarkan perbedaan ini melemahkan adat kita sendiri,” pesannya.
Dengan putusan ini, Metuzalak berharap masyarakat Papua dapat belajar untuk lebih menghormati adat dan budaya lokal. Ia menekankan pentingnya melibatkan semua pihak yang memiliki hak adat dalam setiap pengambilan keputusan, sehingga persatuan tetap terjaga dan adat Papua tidak dilemahkan.
“Masalah ini adalah pembelajaran penting bagi kita semua, terutama suku-suku di Papua. Mari kita hormati marga-marga pemilik hak ulayat dan berjuang bersama untuk kemajuan Papua Barat,” tutupnya. (ALW/ON)