Orideknews.com, Manokwari, – Sejumlah pemuda yang mengatasnamakan diri Solidaritas Anti Rasis dan Diskriminasi pada Rabu, (17/6/2020) mendatangi kantor DPRD Kabupaten Manokwari di Sowi Gunung dengan dikawal aparat kepolisian.
Kedatangan sejumlah pemuda ini guna menyampaikan aspirasi terkait para tahanan Politik dampak rasis Surabaya Jawa Timur.
Dalam orasinya, penanggungjawab aksi Solidaritas Anti Rasis dan Diskriminasi, Delfisen Pahala mengingatkan pemerintah untuk belajar dari peristiwa 19 Agustus 2019 lalu. Pada kesempatan itu juga, dia menyeruhkan 4 poin pernyataan dihadapan sejumlah anggota DPRD Manokwari.
Pertama, meminta kepada pemerintah Republik Indonesia agar lebih cepat dalam melakukan tindakan pencegahan terhadap pelaku rasis di Indonesia secara khusus kepada rakyat Papua.
Kedua, meminta keadilan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dan hentikan segala bentuk kesenjangan hukum di negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketiga, meminta bebaskan tujuh orang tahanan politik dampak rasis Surabaya yang ditahan di Kalimantan Timur tanpa syarat.
Keempat, meminta DPRD Kabupaten Manokwari untuk menyurati Polda Papua Barat dalam memberikan pertimbangan hukum kepada tujuh tahanan dampak rasisme di Surabaya.
Usai aksi, kepada wartawan Delfisen menjelaskan, dia bersama sejumlah pemuda yang prihatin dengan kasus-kasus rasis yang sebenarnya sudah terjadi dahulu hingga saat ini.
Pihaknya, kata Delfisen, melihat proses tuntutan hukum kepada pelaku dampak rasisme yang diindikasikan ada terjadi kesenjangan hukum.
“Tujuan kami hari ini datang ke DPRD Manokwari, kami ingin menyampaikan dan ingin mengingatkan kepada Negara bahwa, bagaimana melakukan pencegahan dini, terhadap setiap indikasi pelaku yang mencoba melakukan rasis terhadap siapa saja, lebih khusus untuk masyarakat yang ada di Papua. Itu menjadi salah satu bentuk dari keresahan kami,” tutur Delfisen.
Lanjut, sebutnya, para tahanan politik di Kalimantan Timur juga menjadi salah satu tuntutan penting Solidaritas Anti Rasis dan Diskriminasi. Delfisen menilai ada ketikadilan proses hokum, sebab para pelaku utama rasis dituntut lebih ringan dari ada pelaku dampak rasis.
“Mereka-mereka ini (para tahanan politik) adalah korban tapi dijadikan sebagai pelaku utama dari rasis yang terjadi di Surabaya. Kami minta kepada negara untuk mempertimbangkan, kami hanyalah kelompok-kelompok kecil yang mungkin tidak memiliki suara, memilik power untuk bicara diatas Negara ini, tapi kalau negara ini merasa bahwa penting bagaimana melihat kesamaan ras kita sesame Indonesia, mari buktikan itu dalam penegakan hukum yang betul-betul adil,” tegas Delfisen.
Sementara itu, penerima aspirasi dari DPRD Manokwari, Aloysius Siep menyatakan, sebagai anggota DPRD orang asli Papua secara pribadi dia menyayangkan tuntutan terkait para tahanan politik dampak rasis Surabaya yang ada di Kalimantan Timur saat ini.
“Segala persoalan tindakan itu istilahnya ada asap baru ada api, ada sebab baru ada akibat. Persoalan ini awalnyakan dari kasus Surabaya, orang Papua dikatakan Monyet disana, itukan rasis. Karena persoalan itu maka banyak aktivis yang ditangkap pada aksi menolak pernyataan-pernyataan itu,” tutur Aloysius.
Dikatakannya bahwa, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua harus melihat masalah tersebut karena para tahanan politik itu hanya dititipkan di Kalimantan Timur.
Aloysius lalu mengapresiasi Kejaksaan Tinggi Papua Barat karena telah membebaskan tanpa syarat sejumlah orang yang terkait aksi rasisme pada Agustus 2019 lalu di Manokwari.
“Luarbiasa pak Kajati Papua Barat dan tim pengacaranya membantu sampai bagaimana proses penyelesaian persoalan sehingga teman-teman bisa dibebaskan. Begini persoalan yang hari ini terjadi adalah penghinaan terhadap orang asli Papua, sehingga kedepan diharapkan negara harus melihat bagian ini, karena persoalan rasis saat ini adalah persoalan dunia,” imbuh Aloysius. (ALW/ON)