Orideknews.com, MANOKWARI – Perubahan iklim dan dampak pandemi COVID-19 telah memicu krisis pangan global, termasuk di Indonesia. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman telah menekankan bahwa ancaman krisis pangan menjadi hal penting yang harus diwaspadai bersama
Untuk itu, Plt. Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Kementan, Dedi Nursyamsi dalam kunjungan kerjanya di Papua Barat, mengimbau agar produksi pangan utamanya beras harus ditingkatkan untuk mencapai swasembada.
Dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Perluasan Areal Pertanian (PAT) Provinsi Papua Barat yang diselenggarakan oleh Kementerian Pertanian (Kementan) Republik Indonesia melalui BPPSDMP Kementan, Dedi menjelaskan, perubahan iklim memberikan dampak signifikan terhadap hasil pertanian di Indonesia. Selain memengaruhi produktivitas, perubahan iklim juga meningkatkan serangan hama dan penyakit tanaman, Kamis (11/7/24).
Meskipun demikian, ia menyampaikan rasa syukur bahwa Papua Barat hingga saat ini terhindar dari serangan hama dan penyakit yang merugikan tanaman pangan.
“Papua Barat patut bersyukur karena hingga saat ini belum terdampak serangan hama dan penyakit. Namun, kita harus tetap waspada dan menyiapkan strategi pencegahan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Dedi mengungkapkan bahwa Indonesia mengalami defisit beras sebesar 1 juta ton untuk konsumsi domestik pada tahun 2023. Hal ini dipicu oleh krisis pangan global yang disebabkan oleh perubahan iklim dan dampak pandemi COVID-19.
“Krisis pangan ini juga dipicu oleh inefisiensi penyerapan beras dari petani oleh Bulog, sehingga petani kesulitan memenuhi kebutuhan beras konsumsi,” jelasnya.
Untuk mengatasi krisis pangan, Dedi menekankan pentingnya swasembada pangan di Indonesia, termasuk Papua Barat.
“Kita harus bisa mendapatkan beras dari keringat kita sendiri, dari petani kita sendiri, dari lahan sawah kita sendiri,” tegasnya.
Ia menilai Papua Barat memiliki potensi besar untuk mencapai swasembada pangan, namun potensi tersebut harus digarap secara maksimal.
“Kita harus genjot produktivitas pertanian di Papua Barat. Yang terpenting adalah koordinasi yang baik dari Dinas Pertanian Provinsi, seluruh dinas pertanian kabupaten, hingga level paling bawah, termasuk BPP dan Babinsa,” pungkasnya.
Sekretaris Daerah (Sekda) Papua Barat, Jacob Fonataba dikesempatan itu mengaku, Papua Barat saat ini ketergantungan panga di Papua Barat yang masih tinggi. Untuk itu, perlunya peningkatan produksi pangan lokal.
“Kita masih sangat bergantung pada pangan dari luar Papua Barat, produksi kita rendah,” ujar Sekda.
Ia juga melaporkan mengenai program “two days no rice” di Papua Barat yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada beras.
“Saat ini, 80 persen beras yang dikonsumsi masyarakat Papua Barat berasal dari luar. Dengan jumlah penduduk mencapai 561 ribu jiwa, ini menjadi masalah serius yang harus segera kita antisipasi,” tambahnya.
Menurut Sekda, jika daerah produksi beras tidak dapat mensuplai beras, maka akan terjadi krisis pangan di Papua Barat.
Sejalan dengan arahan Pj Gubernur Papua Barat, Sekda juga menyampaikan bahwa pemerintah provinsi sedang menggarap kebun seluas 6 hektar di daerah Susweni, Manokwari, yang dikerjakan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) Papua Barat.
“Tujuannya bukan untuk mengalihkan pekerjaan masyarakat, melainkan untuk membuat model dan intervensi pasar,” jelas Sekda.
Ia menambahkan bahwa program ini juga bertujuan untuk menekan angka inflasi yang saat ini mencapai 3,86%. (MRN/RR/ON).