“Jujur saja, peristiwa ini sangat jauh dari liputan media. Mungkin negara terlalu sibuk dengan kisah-kisah intoleransi dan radikalisme. Faktanya, Wakil Bupati Nduga, Wentius Nimiangge, mengundurkan diri dari jabatannya,” kata Filep Wamafma, Jumat (27/12/2019).
Dikatakan Wamafma, Wentius mundur karena tak sanggup melihat berbagai kekerasan dan pembunuhan yang menimpa warga sipil di daerah setempat, termasuk jenasah ajudannya. Bahkan diduga semakin banyak korban sipil, semakin menunjukkan bahwa Nduga membutuhkan penanganan yang holistic.
Menurutnya, Namun apa daya? Respon pemerintah sangat lambat. Nduga, kata Wamfma, seperti ladang konflik senjata yang tak pernah usai. Pansus Papua, yang terus bergerak secara langsung dalam pertemuan dengan menteri terkait merasakan kepedihan yang luar biasa saat warga masyarakat sipil harus hidup dalam ketakutan.
“Bagaimana mungkin bermimpi tentang kemajuan pembangunan, saat kebutuhan akan rasa aman tidak dapat diperoleh?,” Tanya Wamafma.
Lebih lanjut kata dia, Pansus Papua selalu menyerukan agar TNI dan OPM menahan diri, agar tidak menimbulkan konflik-konflik bersenjata yang hanya menimbulkan penderitaan baru.
Sebut Wamafma, dalam skala yang lebih luas, seraya melihat masifnya gerakan TNI di Nduga, maka Pansus Papua mendesak agar diberikan kejelasan mengenai status keamanan di Nduga, apakah masuk kategori Daerah Operasi Militer, Daerah Darurat Sipil atau Daerah Darurat Militer.
“Kategorisasi ini akan menjelaskan secara transparan tentang semua kebijakan keamanan yang diambil pemerintah. Pemikiran Pansus Papua ini tidak lain, dan tidak bukan didasari oleh keprihatinan akan hilangnya hak-hak asasi masyarakat sipil,” ungkapnya.
Oleh karena egoisme pihak-pihak yang berkonflik, maka jelas Wamfma, dalam konteks ini, Pansus Papua meminta keterlibatan Palang Merah Internasional (PMI) agar turut serta menawarkan pelayanan kemanusiaan kepada Pemerintah. Sesuai Konvensi Jenewa, dalam konflik bersenjata non Internasional.
“Palang Merah Internasional bisa menggunakan hak inisiatif kemanusiaan secara netral dan independen untuk memberikan pelayanan kemanusiaan maupun melindungi kehidupan dan martabat korban di wilayah konflik bersenjata,” saran Wamafma.
Untuk itu, Pansus Papua mendorong pemerintah untuk memberikan akses pada bantuan kemanusiaan ini, sebab mengingat lambannya respon pemerintah. Pansus Papua mendorong adanya pertanggungjawaban terbuka, baik bagi OPM maupun bagi TNI untuk menghapus berbagai trauma dan kebencian yang selalu muncul setiap kali ada kabar tentang tertembaknya warga sipil.
“Tidak cukup kita menangisi setiap derita dan kematian! Kita butuh perbuatan nyata agar kedamaian di Papua tidak sekadar angan-angan. Ingatlah asas hukum ini, “hodi mihi cras tibi”, ketidakadilan yang menyentuh perasaan akan tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat,” tambah Wamafma. (EN/ON)
error: Hati-hati Salin Tanpa Izin kena UU No.28 Tahun 2014 Tentang HAK CIPTA dan/atau UU RI No.19 Tahun 2016 atas perubahan UU RI No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)