Orideknews.com, MANOKWARI, – Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan C Warinussy,SH mendesak Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat untuk segera mengesahkan aturan hukum yang dapat memproteksi masyarakat adat Papua dan hak-haknya di wilayah administratif pemerintah Provinsi Papua Barat.
“Termasuk cara-cara mereka melakukan upaya hukum untuk mempertahankan hak-hak asasinya sesuai mekanisme dan prosedur pada tingkat nasional maupun internasional,” ucap Warinussy dalam keterangan persnya yang diterima www.orideknews.com, Minggu, (17/2/2019).
Pasalnya, kata Warinussy, kehadiran kegiatan eksploitasi sumber daya alam di Tanah Papua sepanjang lebih dari 50 tahun terakhir ini sangat menimbulkan dampak yang negatif bagi kondisi lingkungan hidup bahkan merugikan bagi kehidupan masyarakat adat Orang Asli Papua (OAP).
Bahkan, dia menyebut seringkali menjadi faktor pemicu bagi terjadinya tindakan-tindakan kekerasan negara yang berdampak pada lahirnya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Dia membenarkan bahwa, hal itu tergambar pada kasus dugaan pencemaran lingkungan di wilayah Timika dan sekitarnya akibat pertambangan proyek raksasa Freeport Indonesia.
“Mega proyek pertambangan tembaga yang mengandung pula logam emas di Tanah Papua tersebut diduga keras telah meninggalkan limbah yang mencederai sungai, dusun/ladang sagu, hingga ke laut Papua dengan potensi kerusakan setara dengan Rp. 185 Trilyun,” jelasnya
Warinussy menyatakan, hasil investigasi tim Majalah Tempo dan Tabloid Jubi menemukan bahwa tailing sisa pengolahan emas itu mencerabut mata pencaharian penduduk dan mengisolasi empat distrik.
Akibatnya, masyarakat adat setempat pasti akan mengalami kerugian dan kehilangan hak dan kesempatan yang adil untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alamnya sendiri.
Tidak hanya itu, di kawasan Teluk Bintuni, Papua Barat tepatnya kampung Saengga dan Tanah Merah Kabupaten Teluk Bintuni, masyarakat adat Sumuri dari tiga marga, yaitu Siwana, Soway dan Wayuri “dipengaruhi” melepaskan tanah adatnya untuk kepentingan pembangunan kilang gas dengan menerima ganti kerugian sejumlah 15 rupiah permeter persegi.
“Bahkan di dataran lembah Kebar-Kabupaten Tambrauw, masyarakat adat suku Mpur “termarginalisasi” dari tanah adatnya karena PT Bintuni Agro Prima Perkasa (BAPP) diduga melakukan “manipulasi” proses pelepasan hak adat,” beber Warinussy.
Menurutnya, beberapa pejabat daerah di Kabupaten Tambrauw dan Provinsi Papua Barat diduga ikut serta memberikan persetujuan atau rekomendasi bagi PT.BAPP untuk melakukan “pengrusakan” lingkungan di wilayah Kebar tersebut.
“Tiga contoh kasus diatas memberi gambaran bahwa perbuatan eksploitasi sumber daya alam di Tembagapura, Teluk Bintuni dan Lembah Kebar. Semua itu senantiasa memberi dampak penting terhadap kondisi lingkungan, sumber daya alam maupun kehidupan sosial, ekonomi bahkan budaya masyarakat lokal/asli Papua sebagai penguasa bumi, ” ungkapnya.
Warinussy menyebutkan, seringkali perbuatan hukum berbentuk ekaplotasi sumber daya alam tersebut, mengabaikan dan melanggar hak-hak politik orang asli Papua sebagai pemilik tanah adat berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku. (Redaksi).