MANOKWARI, Orideknews.com – Direktur Eksekutif Lembega Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy diundang untuk berbicara sebagai penyaji dalam Seminar Materi Musyawarah Besar (Mubes) 7 (Tujuh) Suku Adat di Kawasan Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat. “Saya mendengar dari beberapa tokoh adat dari Suku Sebyar di pesisir utara Teluk Bintuni maupun dari Suku Sumuri yang kini sebagian besar tanah adatnya sudah berubah menjadi “ladang” pengelolaan gas alam milik mega proyek LNG Tangguh,” kata Christian Warinussy, Minggu (28/1).
Kata Warinussy, beberapa bagian lahan tanah adat suku Sumuri kini menjadi lokasi “pengeboran” (Seismic) yang dilakukan dan hendak dikelola potensi gas alamnya oleh perusahaan gas dari Malaysia (Genting Oil) dan perusahaan asal Italia (ENI Oil).
Dalam kesempatan itu juga didengar dari sejumlah tokoh adat dari Suku Moskona, Suku Kuri, Suku Wamesa, Suku Irarutu dan Suku Sough yang mereka semuanya merupakan “penguasa bumi” dataran dan pesisir bahkan kawasan dataran tinggi di Teluk Bintuni.
Pada umumnya mereka menceriterakan bahwa kehadiran berbagai perusahaan yang sudah puluhan bahkan mungkin ratusan tahun beroperasi mengelola sumber daya alam hutam, laut dan perairan serta mineral tambang minyak dan gas alam disana (Teluk Bintuni). Namun rakyat (masyarakat adat loka) senantiasa menjadi “pihak yang kalah dari sisi tidak memiliki pengetahuan hukum, tidak memiliki informasi yang cukup mengenai rencana pengelolaan sumber daya alam miliknya dan selalu hidup di bawah garis kemiskinan dari hari lepas hari sejak dahulu hingga hari ini.
“Saya ingat sekitar tahun 1992, pernah digelar Dialog Pembangunan Teluk Bintuni yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Manokwari di bawah pimpinan Bupati Drs.Mulyono,” ujar Warinussy. Lanjut Warinussy, dalam pertemuan tersebut dihadirkan sejumlah masyarakat adat, investor dan pemerintah daerah untuk berbicara dan mencari kerangka bagaimana bersama membangun kawasan Teluk Bintuni yang “kaya” tersebut.
Dalam beberapa tahun kemudian dilaksanakan lagi Gelar Tikar Adat (GTA) di Aranday saat Kabupaten Teluk Bintuni sudah terbentuk dengan caretaker Bupati Decky Kawab, SH (almarhum). Bahkan lebih celakanya mereka seperti tidak dihargai sebagai pemilik (the owner) dari sumber daya alam (hutan/tanah/mineral) di wilayah Teluk Bintuni tersebut oleh pemerintah maupun negara dan investor yang beroperasi disana.
Menurutnya, hal ini memang sungguh merupakan sebuah tragedi kemanusiaan, karena dari sisi hukum dan hak asasi manusia jelas-jelas melanggar amanat Pasal 18B ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 dan Pasal 43 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013.
“Masyarakat adat dalam posisi “lemah” secara hukum, karena mereka tidak diberikan informasi yang cukup dan memadai dari pemerintah maupun investor tentang apa yang sesungguhnya menjadi hak-hak mereka secara hukum dan bagaimana cara mereka melindungi dan dapat memperjuangkan pemenuhan hak-hak dasarnya, apabila dilanggar oleh negara dan investor?,” ucap Warinussy.
Dengan demikian sebagai salah satu Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua, hendaknya mendesak pemda di Provinsi Papua Barat dan khususnya pemda Teluk Bintuni untuk memberi perhatian sungguh pada upaya pemenuhan hak masyarakat adat di Teluk Bintuni mengenai hukum dan hak asasi manusia tersebut.
Dia menambahkan, harus diprogramkan secara permanen dan rutin tentang pendidikan hukum kiritis bagi rakyat asli Papua pemilik sumber daya alam di Teluk Bintuni, sehingga untuk mengetahui bagaimana eksistensi mereka sebagai subjek hukum dihormati dan diakui dalam konstitusi negara dan aturan perundangan yang berlaku serta bagiamana cara mereka
memperjuangkan hak-hak dasarnya tersebut secara hukum di Indonesia.
Kesempatan itu, Warinussy berharap LP3BH Manokwari dengan senang hati bersedia membantu pemda Teluk Bintuni secara khusus dan Provinsi Papua Barat dalam mendorong dilaksanakannya pendidikan hukum kritis bagi masyarakat asli pemilik sumber daya alam di wilayah Teluk Bintuni melalui Pos Kontak LP3BH yang sudah beroperasi sejak tahun 2013 di Bintuni.
“Ini penting agar ketika negara atau pemerintah atau pemerintah daerah hendak menggelar pertemuan Gelar Tikar Adat (GTA) di kawasan Teluk Bintuni, maka rakyat (masyarakat adat) Papua disana juga sudah siap dan kuat menghadapi dan terlibat aktif dalam pertemuan penting tersebut demi mempersiapkan masa depan mereka bersama anak cucunya di atas tanah dan negerinya sendiri ke masa depan yang lebih baik dan sejahtera,” tambah Warinussy. (GAL/ON)