Orideknews.com, Manokwari — Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Papua Barat, Edi Baransano menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) agar benar-benar memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat asli Papua.
Hal ini disampaikannya dalam Forum Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Pengembangan Ekonomi Orang Asli Papua (OAP) melalui Program Papua Produktif” di Manokwari, Rabu (12/11/25) yang difasilitasi
Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Papua Barat.
Edi menyoal lemahnya akses masyarakat terhadap program pembangunan daerah. Dalam paparannya, ia mengungkapkan bahwa masih banyak sektor strategis di Papua Barat termasuk pariwisata, pertanian, dan budaya lokal yang belum memberi manfaat langsung bagi masyarakat setempat.
“Teman-teman di Papua Barat mungkin belum tahu, beberapa kasus terakhir di sektor pariwisata itu banyak yang dikelola pihak luar. Masyarakat di sekitar lokasi tidak dapat apa-apa. Padahal potensi besar itu milik kita,” ujarnya.
Ia juga menyoroti lemahnya perhatian pemerintah terhadap pelestarian warisan budaya dan situs bersejarah di Papua Barat. Menurutnya, hingga kini belum ada program perlindungan budaya yang efektif dan berpihak kepada masyarakat adat.
“Benda-benda budaya di belakang itu banyak yang mau dihapus karena dianggap usang. Padahal itu bagian dari jati diri kita. Kami sudah berkali-kali beri usul, tapi tidak didengar,” tegasnya.
Dalam kelembagaan, ia menilai bahwa koordinasi antara berbagai instansi pelaksana Otsus masih tumpang tindih. Ia menyatakan bahwa BP3OKP kini memiliki posisi strategis di bawah kendali langsung Wakil Presiden RI, sehingga perlu ada sinkronisasi dengan lembaga daerah seperti DPRP dan pemerintah provinsi.
“Semua program di Papua Barat harus berkoordinasi dengan BP3OKP. Supaya ketika laporan sampai ke Presiden, data dan faktanya jelas. Jangan sampai informasi yang salah justru merugikan daerah,” katanya.
Menurut Edi, tingkat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Papua Barat masih rendah, meskipun kekayaan sumber daya alam sangat besar. Banyak perusahaan besar beroperasi di wilayah ini, namun masyarakat sekitar tidak merasakan manfaat ekonomi yang signifikan.
“Coba lihat, banyak perusahaan besar seperti Medco dan lainnya ada di sini, tapi masyarakat dapat apa? Hanya 0,2 persen hasilnya yang kita nikmati,” ungkapnya.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa kemiskinan struktural dan bergenerasi masih menjadi tantangan serius di Papua Barat.
“Mama-mama Papua masih jadi korban kemiskinan turun-temurun. Anak-anak mereka sekolah tinggi, tapi akhirnya kembali jual pinang di pinggir jalan. Karena tidak ada sistem dan modal usaha yang menopang,” jelasnya.
Ia mengusulkan agar anggaran pemerintah dan BUMN seperti BNI, BPD Papua, maupun lembaga pembiayaan nasional memberikan akses modal yang lebih mudah bagi pengusaha OAP.
“Kalau pemerintah bisa alokasikan 100 miliar saja untuk jaminan modal bagi pengusaha Papua, itu akan membuka ruang ekonomi baru. Jangan sampai subsidi hanya dinikmati oleh perusahaan besar, tapi tidak menyentuh pelaku ekonomi lokal,” ujarnya.
Kata Edi, akar masalah ketimpangan pembangunan di Papua Barat terletak pada lemahnya data, koordinasi, dan keberpihakan kebijakan. Ia mengingatkan bahwa tanpa perbaikan sistemik, Otonomi Khusus akan kembali gagal mencapai tujuannya.
“Kalau kita tidak berbenah hari ini, maka Otsus akan gagal lagi. Kita bicara bukan untuk menyalahkan, tapi untuk mencari solusi nyata. Karena kalau data, koordinasi, dan keberpihakan tidak ada, maka semua akan kembali pada pola lama,” tuturnya.
Edi lalu mengajak seluruh pihak pemerintah, pengusaha, dan masyarakat adat bersatu membangun Papua Barat dengan tetap berpijak pada jati diri dan potensi lokal OAP.
“Kita tidak bisa memaksakan diri menjadi orang lain. Kita tetap harus menjadi diri sendiri, orang Papua yang punya martabat dan potensi besar. Yang kita butuhkan hanya kesempatan yang adil untuk maju,” tambah Edi. (ALW/ON).


