Orideknews.com, Kota Sorong, — Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Papua Barat Daya meminta semua pihak memahami batasan profesi jurnalis yang sah dan terlindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Penegasan ini disampaikan menyusul mencuatnya pernyataan yang mengatasnamakan jurnalis untuk melakukan aksi demonstrasi mendesak pergantian Bendahara Sekretariat Daerah Papua Barat.
Ketua JMSI Papua Barat Daya, Aris Balubun, menyatakan bahwa hanya jurnalis yang tergabung dalam organisasi profesi yang menjadi konstituen Dewan Pers yang diakui secara resmi.
Ia menyebut terdapat 11 konstituen Dewan Pers yang terbagi dalam empat organisasi profesi dan tujuh organisasi perusahaan pers.
Empat Organisasi Profesi itu adalah
1. PWI – Persatuan Wartawan Indonesia
2. AJI – Aliansi Jurnalis Independen
3. IJTI – Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia
4. PFI – Pewarta Foto Indonesia
Sementara itu, Tujuh Organisasi Perusahaan Pers yakni.
1. SPS – Serikat Perusahaan Pers
2. ATVSI – Asosiasi Televisi Swasta Indonesia
3. ATVLI – Asosiasi Televisi Lokal Indonesia
4. PRSSNI – Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia
5. JMSI – Jaringan Media Siber Indonesia
6. AMSI – Asosiasi Media Siber Indonesia
7. SMSI – Serikat Media Siber Indonesia
Aris menegaskan, organisasi di luar 11 konstituen tersebut tidak diakui sebagai organisasi profesi pers.
“Kita harus tegas. Di luar dari 11 konstituen Dewan Pers, tidak diakui. Ini harus dipahami oleh para pemangku kepentingan, stakeholder, dan masyarakat agar tidak semua orang bisa mengklaim dirinya sebagai wartawan atau jurnalis,” tegas Aris.
Menurutnya, sosialisasi mengenai konstituen resmi Dewan Pers perlu diperkuat agar tidak terjadi penyalahgunaan identitas profesi pers untuk kepentingan kelompok tertentu.
Pernyataan JMSI ini sekaligus menguatkan sikap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Papua Barat yang sebelumnya mengecam keras adanya pernyataan “ancaman aksi jurnalis” yang didorong untuk mendesak pergantian Bendahara Setda Papua Barat.
Wakil Ketua PWI Papua Barat, Gustavo R. Wanma, menilai bahwa pernyataan aksi yang disampaikan oleh Ketua DPW Ikatan Penulis dan Jurnalis Indonesia (IPJI) Papua Barat tidak mencerminkan profesionalisme pers dan berpotensi mencoreng marwah wartawan.
“Mengancam melakukan aksi atas nama jurnalis untuk memaksa pergantian pejabat pemerintah adalah tindakan melanggar kode etik dan mencoreng nama baik profesi,” tegas Gustavo.
Ia menyebut penggunaan frasa “kami bersama rekan-rekan jurnalis akan menggelar aksi” sebagai bentuk penyalahgunaan identitas profesi yang dapat menimbulkan persepsi keliru bahwa jurnalis berpihak pada kepentingan kelompok tertentu.
Gustavo menegaskan bahwa jurnalis wajib menjaga independensi, netralitas, dan hanya berpihak pada kepentingan publik. Terlibat sebagai pelaku aksi politik, apalagi yang bertujuan menekan pergantian pejabat, adalah tindakan yang berada di luar fungsi pers sebagai pilar demokrasi.
“Pers adalah pengawas kebijakan publik, bukan aktor tekanan bagi birokrasi,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa tindakan menggerakkan jurnalis untuk aksi non-jurnalistik dapat merusak kepercayaan publik terhadap media serta membuka ruang politisasi profesi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Mencantumkan narasi ajakan aksi oleh rekan-rekan jurnalis adalah tindakan yang mencederai profesi kami,” sesal Gustavo. (ALW/ON).



