Orideknews.com, Manokwari, — Tindakan pembakaran mahkota Cenderawasih oleh aparat yang viral di media sosial belum lama ini dinilai sebagai bentuk pelecehan terhadap jati diri dan martabat Orang Asli Papua (OAP).
Hal ini disampaikan oleh perwakilan Advokat Manokwari Bersatu, Metuzalak Awom yang menyatakan mahkota bukan hanya sebagai simbol, melainkan lambang kehormatan dan identitas budaya masyarakat Papua.
“Kami melihat tindakan itu bukan hanya perbuatan biasa, tetapi sudah menyentuh aspek penghormatan jati diri orang Papua,” ujar Awom.
Ia menjelaskan mahkota memiliki makna sakral dalam kehidupan orang Papua dan sering kali dibuat dari burung kasuari, burung Cenderawasih, atau simbol-simbol lain yang merepresentasikan keagungan dan status adat.
Menurutnya, pembakaran tersebut telah melukai rasa hormat terhadap nilai-nilai adat yang hidup di tengah masyarakat Papua. Karena itu, Advokat Manokwari Bersatu telah menggelar rapat dan menyusun rencana upaya hukum.
“Langkah kami bukan untuk mencari kesalahan pihak lain, tetapi menegaskan bahwa penghormatan terhadap jati diri orang Papua adalah keharusan. Bangsa ini harus belajar menghargai nilai-nilai yang hidup di atas tanah ini,” ucapnya.
Ia menilai, sikap abai terhadap nilai-nilai adat berpotensi menimbulkan gesekan sosial dan perasaan tidak puas di masyarakat. Karena itu, pemerintah diminta untuk melakukan introspeksi dan memastikan penegakan hukum tetap menghormati hukum adat sebagai aturan hidup yang nyata di tengah masyarakat.
Dari sisi hukum, tindakan pembakaran mahkota dinilai memiliki implikasi terhadap berbagai ketentuan perundang-undangan nasional maupun internasional.
“Dalam konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B sudah jelas mengakui keberadaan masyarakat hukum adat. Bahkan dalam kovenan internasional tentang hak asasi manusia juga diatur penghormatan terhadap budaya dan hak tradisional masyarakat adat,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa Dewan Adat Papua (DAP) pun memiliki statuta yang mengatur perlindungan terhadap simbol-simbol budaya Papua. Namun, karena belum ada peraturan daerah khusus (Perdasus) yang mengatur secara rinci, maka perlindungan hukum terhadap benda adat seperti mahkota masih lemah.
“Masalah ini harus menjadi momentum bagi pemerintah daerah dan Majelis Rakyat Papua untuk mendorong lahirnya aturan perlindungan benda adat. Simbol-simbol budaya seperti mahkota tidak boleh lagi diperlakukan sembarangan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa dalam sejarah, banyak artefak budaya Papua justru dibawa keluar negeri dan kini menjadi koleksi berharga di museum-museum Eropa.
“Dulu Belanda membawa benda-benda adat Papua, tapi kini justru kita mencari dan menghargainya di museum Belanda. Ironis kalau di tanah sendiri, benda itu justru dibakar,” ujarnya.
Awom mengingatkan bahwa perhatian pemerintah seharusnya difokuskan pada hal-hal yang lebih mendesak, seperti penertiban tambang ilegal, pengelolaan hutan untuk kepentingan rakyat, dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dari penguasaan negara yang berlebihan.
“Negara harus hadir untuk mengatur agar pembangunan membawa manfaat bagi rakyat, bukan justru menghapus jejak budaya dan identitas yang menjadi sumber kebanggaan orang Papua,” pungkasnya. (ALW/ON).



