Orideknews.com, MANOKWARI – Kisah perjalanan hidup Ferry Michael Demianus Auparay adalah cermin perjuangan dan keteguhan hati seorang anak Papua yang menolak menyerah pada nasib. Dari karier sebagai pegawai bank selama 14 tahun, menjadi aktivis, lalu terjun ke dunia politik dan bisnis migas Ferry membuktikan bahwa kerja keras, keberanian, dan niat tulus dapat membuka jalan menuju kesuksesan.
Perjalanan karier Ferry dimulai dari dunia perbankan, selama bertahun-tahun ia meniti karier di lembaga keuangan hingga akhirnya memilih mengundurkan diri karena menyadari bahwa hidupnya tidak berhenti di situ. Dengan modal pengalaman dan semangat, ia nekat merantau ke Jakarta untuk mencari peluang baru.
“Saya kira dengan pengalaman di bank, saya bisa berhasil di Jakarta. Ternyata tidak semudah itu. Hidup di Jakarta keras, saya jatuh bangun, hingga akhirnya memutuskan kembali ke Papua,” kenangnya.
Setelah kembali ke Tanah Papua melalui Nabire dan Wondama, Ferry memulai lagi dari nol. Ia terjun ke dunia politik pada 2002, kemudian kembali terpilih sebagai anggota DPRD periode 2014–2019, dan kembali dipercaya rakyat untuk duduk di kursi legislatif pada Pemilu 2024 untuk masa bakti hingga 2029.
Namun di balik karier politiknya, Ferry juga dikenal sebagai pengusaha migas sukses asal Papua Barat. Ia kini mengelola enam Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Manokwari dan Teluk Wondama, termasuk SPBU Kompak yang melayani daerah-daerah terpencil seperti Pegunungan Arfak, Wasior, Windesi, Sawepu, dan Roon.
“Proses ini tidak mudah, tidak seperti membalik telapak tangan. Saya membangun bisnis ini sejak akhir 2013, ketika mendapat izin pertama di Teluk Wondama,” ujarnya.

Dari usaha itu, Ferry kini memiliki dua kapal tanker, tiga kapal kayu, dan sepuluh unit dump truck dengan kapasitas distribusi hingga 16 ribu liter. Semua dirintis dengan kerja keras dan keyakinan bahwa anak Papua juga bisa bersaing di sektor ekonomi riil.
Dalam Seminar Nasional 2025 bertema “Satu Abad Peradaban Pendidikan bagi Orang Papua di Tanah Papua” di Aula Universitas Papua, Selasa, (14/10/25) Ferry berbagi kisah perjuangannya dalam materi bertajuk “Perjuangan Orang Asli Papua di Bidang Sumber Daya Mineral: Pengalaman Panjang Mengelola Industri Migas di Papua Barat.”
Ia bercerita tentang dua nasabah yang menginspirasinya semasa bekerja di bank seorang penjual pisang goreng dan seorang petani sederhana di Jayapura yang memiliki tabungan hingga Rp400 juta pada tahun 1990-an.
“Dari mereka saya belajar bahwa kesuksesan bukan soal gelar atau jabatan, tapi kerja keras dan kesederhanaan,” katanya.
Ferry menegaskan bahwa menjadi pengusaha tidak harus lahir dari keluarga kaya atau pejabat.
“Saya bukan anak gubernur, bukan anak bupati, tapi anak dari pegawai biasa. Kuncinya ada pada niat dan kemauan keras untuk bekerja tanpa henti,” ungkapnya.
Bagi Ferry, keberhasilan seseorang Papua harus dimulai dari pendidikan. Pendidikan, katanya, adalah “ibu dari segala aspek kehidupan.” Melalui pendidikan, orang Papua bisa mengubah cara berpikir, menjadi mandiri, dan berdaulat di negeri sendiri.

Ferry mengaku, salah satu motivasinya menjadi pengusaha adalah mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua (OAP) di sektor ekonomi. Ia menilai bahwa hingga kini, hanya sedikit anak Papua yang menembus dunia usaha besar.
“Seratus tahun peradaban orang Papua belum banyak yang sukses di sektor riil. Kita punya banyak pejabat hebat gubernur, bupati, jaksa, polisi, tentara tapi di dunia usaha masih sangat sedikit,” ujarnya.
Karena itu, ia mengajak generasi muda Papua untuk mulai berpikir menjadi pencipta lapangan kerja, bukan hanya pencari kerja.
“Kalau selesai kuliah jangan hanya ribut soal CPNS. Kita bisa lebih bermartabat kalau menjadi pengusaha sukses di tanah sendiri,” pesan Ferry.
Ferry juga ingatkan pentingnya sikap saling dukung di antara sesama pengusaha Papua. Ia mencontohkan bahwa selama ini masih banyak yang bersaing tanpa kolaborasi.
“Kita harus belajar dari saudara-saudara kita dari luar. Jangan anggap mereka musuh. Justru dari mereka kita bisa belajar cara membangun usaha,” katanya.

Ia pun berharap lembaga adat dan gereja ikut berperan dalam membentuk karakter dan mentalitas wirausaha anak-anak Papua, karena pendidikan formal saja tidak cukup.
“Kalau mindset birokrasi dan generasi muda tidak berubah, saya khawatir satu abad ke depan belum tentu ada anak Papua yang menjadi konglomerat di tanahnya sendiri,” tandasnya.
Bagi Politisi Golkar ini, perjuangan menjadi pengusaha bukan hanya soal uang atau bisnis, tetapi tentang harga diri dan kemandirian bangsa Papua.
“Kita harus turun bermain, bukan hanya menonton. Belajar dari siapa pun, bekerja keras, dan jangan pernah merasa kecil hati. Karena anak-anak Papua juga bisa!” tambah Ferry. (ALW/ON).




