Jakarta – Para wakil rakyat asal Papua melontarkan kritik keras terhadap perusahaan tambang besar yang beroperasi di Tanah Papua namun dinilai abai terhadap pekerja dan industri lokal. Mereka menegaskan, pemerintah pusat harus memberi perhatian serius atas ketidakadilan yang dialami masyarakat dan pelaku usaha Papua.
Anggota DPR RI daerah pemilihan Papua Barat Daya, Robert J. Kardinal, menyoroti praktik sejumlah perusahaan besar seperti PT Freeport Indonesia, BP LNG Tangguh, Genting Oil, serta PT Gag Nikel (anak usaha PT Antam) di Raja Ampat. Menurutnya, perusahaan-perusahaan tersebut cenderung lebih mengutamakan tenaga kerja dan kontraktor dari luar Papua.
“Mereka berkolusi dengan perusahaan luar. Padahal seluruh pengurusnya dikontrol pemerintah pusat,” tegas Robert kepada wartawan di Jakarta, Rabu (20/8/2025).
Robert menilai praktik tersebut membuat kehadiran perusahaan tambang tidak memberi dampak signifikan bagi perekonomian daerah. Masyarakat hanya menerima Dana Bagi Hasil (DBH), sementara lapangan kerja maupun peluang usaha bagi Orang Asli Papua (OAP) tidak terbuka.
“Papua tetap jadi provinsi termiskin. Ribuan tenaga kerja didatangkan dari luar, kontraktor juga dari Jakarta. Lalu Papua dapat apa?” ujarnya.
Ia menilai kondisi ini tidak adil karena daerah sulit meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan hanya bergantung pada DBH untuk membangun. Robert pun meminta pemerintah melalui SKK Migas dan BPH Migasmendukung penggunaan tenaga kerja serta industri lokal dalam operasional tambang.
“Saya harap Presiden Prabowo bisa mengubah semua ini. Stop pekerja, kontraktor, bahkan logistik dari luar. Dana CSR juga sebaiknya diarahkan mayoritas untuk beasiswa anak-anak Papua,” tambahnya.
Senada dengan Robert, Senator Papua Barat, Filep Wamafma, mendesak pemerintah mengintervensi kebijakan rekrutmen tenaga kerja di LNG Tangguh. Ia menilai proses rekrutmen operator kilang cenderung diskriminatif terhadap pekerja Papua.
“Di momen HUT RI ke-80, saya meminta Presiden Prabowo memperhatikan aspirasi pekerja Papua yang terindikasi diperlakukan diskriminatif oleh BP Tangguh. Mereka berhak mendapat kesempatan kerja di atas tanahnya sendiri,” tegas Filep.
Filep menjelaskan, sebagai regulator kegiatan hulu migas di Teluk Bintuni, SKK Migas memiliki peran strategis memastikan keberpihakan terhadap masyarakat lokal sesuai AMDAL.
Ia juga menyoroti syarat rekrutmen teknisi dan operator kilang yang dinilai terlalu tinggi, yakni pengalaman minimal 6 tahun untuk sarjana dan 8 tahun untuk lulusan D-III. “Syarat ini menutup peluang pekerja Papua untuk masuk maupun naik posisi,” katanya.
Ketua Komite III DPD RI itu menegaskan, pembangunan kapasitas SDM Papua harus menjadi agenda prioritas perusahaan. “Kami akan mengawal persoalan ini agar segera ditindaklanjuti kementerian terkait. Semua pihak harus berkomitmen mendukung masyarakat lokal secara konsisten dan berkelanjutan,” pungkasnya. (ALW/ON).