Orideknews.com, Manokwari – Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Papua Barat menyampaikan keprihatinan mendalam atas meningkatnya kasus intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama di sejumlah wilayah Indonesia.
Ketua FKUB Papua Barat, Zadrak Simbiak, menegaskan bahwa perbedaan agama, suku, dan budaya adalah karunia Tuhan yang seharusnya menjadi kekuatan, bukan sumber konflik.
“Perbedaan adalah anugerah yang memperkaya kehidupan berbangsa. Karena itu, kami sangat prihatin terhadap realita yang terjadi hari ini di negeri ini—tindakan-tindakan intoleransi yang menjurus pada kekerasan. Itu sangat merendahkan martabat,” kata Zadrak di Manokwari, Sabtu (2/8/25).
Ia menyatakan FKUB Papua Barat mengecam berbagai tindakan intoleran yang akhir-akhir ini terjadi di sejumlah daerah, karena hal tersebut tidak hanya meracuni kebersamaan tetapi juga mengancam persatuan bangsa.
Kasus-Kasus Intoleransi yang Memicu Reaksi
Dalam beberapa bulan terakhir, Indonesia diguncang oleh sejumlah kasus intoleransi, antara lain, Penolakan ibadah umat Kristen di Cilebut, Bogor (Juni 2025) yang menyebabkan pembubaran ibadah secara paksa. Pembakaran tempat ibadah di Langkat, Sumatera Utara (April 2025). Penolakan pembangunan rumah ibadah di Bantul dan Garut oleh kelompok masyarakat yang mengklaim mayoritas.
Ia menilai, Kasus-kasus tersebut menjadi cermin bahwa kebebasan beragama yang dijamin dalam konstitusi belum sepenuhnya terlaksana di lapangan.
Zadrak menyatakan negara wajib hadir untuk menjamin kebebasan beragama sesuai dengan konstitusi.
“Pasal 28 dan 29 UUD 1945 sudah sangat jelas menjamin hak dasar warga negara untuk beribadah menurut agama dan keyakinannya. Karena itu, tindakan intoleran semacam ini harus segera ditindak tegas, tidak pandang siapa pelakunya,” tegasnya.
Ia memperingatkan bahwa intoleransi bisa menjadi benih disintegrasi bangsa. “Ini bukan masalah sepele. Jika terus dibiarkan, ini akan merobek tenun kebangsaan dan menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap negara.”
Dikatakan Zadrak , FKUB memiliki posisi strategis karena beranggotakan tokoh-tokoh lintas agama yang memiliki kedekatan dengan umat. Di Papua Barat, hubungan antarumat beragama sejauh ini masih terjaga dengan baik, berkat komunikasi yang intens dan dialog yang terus-menerus dibangun.
“Kita merawat persahabatan ini bukan hanya dengan sikap dan tindakan, tetapi juga dengan pernyataan dan dialog yang berkelanjutan. Kita tahu kita berbeda, tetapi kita justru melihat perbedaan ini sebagai kekayaan,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan bahwa isu intoleransi dan kebebasan beragama akan menjadi salah satu topik penting yang dibawa FKUB Papua Barat dalam Silaturahmi Nasional (Silatnas) FKUB se-Indonesia pada 5–7 Agustus 2025 di Jakarta.
“Kami berharap pemerintah pusat mendengar seruan dari semua komponen masyarakat. Jangan lagi memakai terminologi mayoritas dan minoritas. Semua warga negara memiliki hak yang sama,” tegasnya.
Dalam kesempatan ini, Zadrak juga menyampaikan kritik terkait aturan pendirian rumah ibadah yang diatur melalui Peraturan Bersama Menteri (PBM) atau SKB 2 Menteri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006.
Menurutnya, regulasi tersebut sudah saatnya ditinjau ulang karena kerap menjadi kendala administrasi yang mengekang kebebasan beragama, khususnya bagi kelompok minoritas.
“Justru pada titik itu kebebasan beragama tercekik. Kriteria administratif yang ditetapkan seringkali memberatkan dan kontras dengan konstitusi,” ujarnya.
FKUB Papua Barat, tambah Zadrak berkomitmen untuk terus menjadi ruang dialog dan wadah kolaborasi lintas agama dalam menjaga kerukunan. (ALW/ON).