Orideknews.com, Manokwari, – Demi menjaga ketahanan pangan, Kementerian Pertanian memperkuat diversifikasi pangan. Salah satunya sagu yang dikembangkan Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Manokwari, Papua Barat, UPT di bawah Kementan. Pengembangan diversifkasi pangan ini disambut antusias mama-mama di Papua.
Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, juga menekankan pentingnya diversifikasi pangan. Caranya, dengan mengoptimalkan potensi dan keragaman sumber daya pangan lokal sebagai salah satu strategi ketahanan pangan di tengah pandemi.
“Jadi pangan itu tidak harus beras, kita melakukan juga upaya diversifikasi pangan. Beberapa pangan lokal kita intervensi seperti singkong, talas, dan umbi-umbian lainnya,” ujar Mentan SYL.
Menurutnya, strategi ini harus simultan dengan upaya mengoptimalisasikan lahan pertanian yang ada agar produktivitasnya menjadi lebih maksimal, termasuk memanfaatkan lahan pekarangan sebagai sumber pangan bagi keluarga.
Salah satunya bahan pangan lokal adalah sagu yang merupakan salah satu makanan pokok masyarakat papua yang diolah menjadi makanan tradisional dengan sebutan papeda. Sebab sagu memiliki potensi yang besar untuk digunakan sebagi pengganti beras.
Papua Barat menjadi kawasan penghasil sagu terbesar nusantara, sehingga memiliki potensi besar untuk diolah menjadi bahan pangan yang lebih komersial seperti diolah menjadi mie dan sirup glukasa.
Selain itu sagu juga dapat dimanfaatkan menjadi bahan pakan ternak ataupun pupuk kompos dengan memanfaatkan ampas sagu.
“Di Papua tanaman sagu sangat oke, sehingga perlu didukung SDM yang ada di Papua khususnya mama papua dibina dengan melakukan bimtek atau pelatihan untuk membuat olahan dari bahan sagu, seperti sagu harus jadi mie, kemudian ada perlakuan teknologi, biar tampilan (pati) menjadi putih bersih,” ungkap Mentan SYL.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP), Dedi Nursyamsi, tak hentinya mengkampanyekan pemanfaatan pangan lokal dapat memenuhi pangan Indonesia.
“Pangan lokal Indonesia sangat melimpah. Tersedia diseluruh Tanah Air. Setiap daerah pun memiliki pangan lokal sendiri-sendiri. Seperti di Papua, Papua Barat, Maluku yang kaya akan sagu dan menjadi pangan utama,” jelas Dedi.
Menindak lanjuti hal tersebut, Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Manokwari mengadakan Bimbingan Teknis Bioindustri Sagu yang diperuntukan untuk mama papua yang berada distrik Manokwari Utara
Kegiatan ini merupakan lanjutan dari Bimtek yang pernah dilaksanakan sebelum di kabupaten Sorong.
Antusias mama papua pun diperlihatkan dengan melaksanakan praktek pembuatan mie kering dan mie basah yang terbuat dari bahan sagu dengan sungguh-sungguh.
Sebanyak 30 warga yang ikut merupakan perwakilan dari 23 kampung dari Manokwari Utara mengikuti pelatihan tersebut hinga nanti kembali lalu mengajarkan di kampung masing-masing.
Kegiatan dilaksanakan dengan tetap menjalankan protokol kesehatan dengan di bagi dua kelompok untuk melihat perbandingan mie yang dihasilkan dari sagu produksi Bogor dan sagu yang diproduksi dari Sorong Selatan.
Tidak hanya sampai proses pengolahan, kegiatan bimtek ini mengajarkan hingga proses pengemasan serta pemberian label agar mama papua bisa belajar untuk menproduksi sampai prodak tersebuk layak untuk dijual.
Hal dasar yang diajarkan dalam pembuatan mie sagu dibuat dengan perbandingan 50% tepung sagu dan 50% tepung terigu agar peserta tidak kewalahan pada proses pembuatan sehingga mie yang dihasilkan tdk mudah putus karena tekstur dari sagu sendiri yang terlalu kenyal bila diolah 100 persen.
Wakil Direktur III Polbangtan Manokwari, Latarus Fangohoi, yang hadir membuka acara menyampaikan bahwa kegiatan yang dilaksanakan sangat penting. karena di Indonesia timur, sagu merupakan pangan lokal.
“Seringkali yang dijumpai cuman olahan sagu yang dibikin jadi papede, sehingga kami berinisiatif menggerakkan ibu-ibu untuk membuat olahan dengan memanfaatkan teknologi tepat guna,” jelas Latarus
“Polbangtan manokwari memiliki peran penting untuk bagaimana melakukan pelatihan membuat produk yang dapat dikomsumsi keluarga dengan mengubah pola pikir agar produk yang dihasilkan memiliki nilai tambah,” tambahnya. (RR/ON)