Orideknews.com, Manokwari, — Ketua Komite III DPD RI, Filep Wamafma, menanggapi langkah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mendorong penyelesaian pencabutan izin tambang nikel di Raja Ampat melalui mekanisme adat. Ia menyebut pendekatan tersebut tidak tepat, karena menurutnya kasus ini adalah persoalan hukum, bukan perkara adat.
“Ada dua hal yang harus menjadi perhatian publik apakah pencabutan izin usaha tambang di Raja Ampat merupakan persoalan adat atau pelanggaran hukum?” kata Filep.
“Kalau itu soal adat, proses penyelesaiannya bisa lewat peradilan adat, yang memang mengutamakan perdamaian. Namun dalam kasus ini, kita berbicara soal pelanggaran terhadap undang-undang,” ungkapnya lagi.
Menurut Filep, pencabutan empat izin usaha pertambangan (IUP) di Raja Ampat dilakukan karena adanya indikasi pelanggaran hukum dan kerusakan lingkungan. Maka dari itu, penyelesaian secara hukum melalui lembaga penegak hukum menjadi keharusan.
“Ketika Menteri ESDM menyatakan bahwa masalah ini hendak diselesaikan secara adat, muncul dugaan bahwa ini adalah bentuk pengalihan dari proses hukum sebenarnya di peradilan umum. Kalau itu terjadi, maka bisa dianggap sebagai upaya cuci tangan dari pelanggaran yang telah dilakukan,” terangnya Selasa, (17/6/25).
Filep menyebut, jika pemerintah benar-benar memiliki niat baik terhadap masyarakat adat, maka tanggung jawab atas kerusakan lingkungan serta dampak sosial-ekonomi harus ditanggung oleh pemerintah dan para investor tambang.
“Masyarakat adat adalah korban dari kebijakan yang keliru. Ketergantungan mereka pada tambang muncul karena mereka percaya izin yang diberikan pemerintah adalah benar. Tapi nyatanya, mereka harus menanggung dampak dari kerusakan lingkungan dan masa depan yang tidak pasti,” urainya.
Kata Filep, pentingnya pemberian kompensasi yang adil, serta perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, termasuk perbaikan lingkungan dan jaminan keberlanjutan hidup.
Pernyataan Filep merespons sikap Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, yang sebelumnya menyebut penyelesaian kasus tambang di Raja Ampat bisa dilakukan secara adat Papua. Hal itu disampaikan saat kunjungan kerjanya ke proyek Tangguh LNG di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, Rabu (11/6/25).
“Kami akan komunikasikan secara baik-baik dengan pihak kepolisian dan penegak hukum, agar penyelesaian ini bisa dilakukan secara adat Papua,” ujar Bahlil.
Bahlil menjelaskan bahwa pemerintah telah mencabut empat IUP tambang nikel di Pulau Gag, Raja Ampat. Keempat perusahaan tersebut adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining. Pencabutan dilakukan setelah ditemukan pelanggaran lingkungan dan tumpang tindih kawasan dengan Geopark Nasional Raja Ampat.
Namun, pemerintah mempertahankan izin PT Gag Nikel, karena lokasi operasinya berada di luar kawasan geopark, memiliki kontrak karya sejak 1998, amdal resmi, dan telah menjalankan kegiatan reklamasi. Meski demikian, Bahlil menegaskan bahwa aktivitas perusahaan tersebut tetap akan diawasi ketat oleh pemerintah pusat, termasuk perlindungan terhadap terumbu karang.
Filep kembali menjelaskan bahwa pendekatan penyelesaian masalah tambang harus dilakukan secara objektif dan berdasarkan hukum.
“Mari kita berpikir secara objektif. Ini bukan persoalan adat, tetapi pelanggaran terhadap undang-undang. Maka penyelesaiannya harus berada di tangan aparat penegak hukum, bukan lewat forum adat,” pungkasnya. (ALW/ON).