Otonomi Khusus Telah Jadi “Petaka” Tergerusnya Hak Dasar OAP
Redaksi
Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua, Yan C Warinussy,SH
Oleh: Yan Christian Warinussy, SH
Sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) bahwa kebijakan otonomi khusus (otsus) yang diundangkan di dalam UU RI No.21 Tahun 2001 telah menjadi “petaka” bagi tergerusnya hak-hak dasar rakyat Papua yang mayoritas adalah Orang Asli Papua (OAP).
Kenapa demikian? Karena sepanjang hampir 19 tahun kebijakan otsus diterapkan di Tanah Papua, OAP justru makin termarginalkan dan menjadi pihak yang selalu “kalah” dalam pertarungan dan kompetisi di sektor ekonomi, lapangan kerja/kesempatan kerja, sektor informal, pelayanan kesehatan, pendidikan bahkan birokrasi dan hak-hak politik serta akses pengambilan keputusan.
Contoh nyata di sektor ekonomi, di sepanjang jalan2 protokol di kota2 besar seperti Manokwari, Sorong, Biak, Nabire, Jayapura, Wamena, Timika dan Merauke. Akses penguasaan pertokoan dan pasar tidak dimiliki OAP. Demikian halnya juga di sektor akses modal di lembaga-lembaga perbankan juga tidak dikuasai OAP.
Bahkan dalam konteks distribusi pekerjaan sektor jasa pembangunan (kontraktor) lebih banyak dikuasai kaum rakyat non OAP. Sehingga berakibat akses persaingan memperoleh hak-hak politik OAP untuk masuk ke lembaga-lembaga parlemen kabupaten/kota maupun provinsi di Tanah Papua pada pemilu 2019 ini menjadi sangat minimal sekali.
Misalnya,untuk DPRD Kabupaten Manokwari dari 25 kursi yang tersedia, hanya 10 kursi diduduki OAP, sisanya non OAP. Di Merauke mayoritas kursi dikuasai non OAP. Bahkan di Provinsi Papua Barat juga mayoritas kursi bakal diduduki Non OAP.
Lalu 3 (tiga) kursi anggota DPR RI asal Papua Barat akan dikuasai sekitar 2 sampai 3 orang non Papua. Tidak terdapat regulasi di tingkat lokal berbentuk peraturan daerah di Tanah Papua yang memberi perlindungan terhadap hak-hak dasar OAP.
Padahal di dalam pertimbangan (konsiderans) huruf f, UU RI No.21 Tahun 2001 berbunyi : bahwa penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap HAM di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat khususnya masyarakat Papua.
Oleh sebab itu, sebagai Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua, saya mendesak pemerintah Presiden Joko Widodo untuk memberi ruang dan kesempatan yang terbuka dan adil bagi rakyat Papua untuk melakukan evaluasi total terhadap pemberlakuan kebijakan otsus yang benar-benar memberi keutamaan dan keberpihakan bagi OAP.
Harus ada pembatasan dan pengaturan khusus bagi OAP sebagai subjek utama dalam konteks pelaksanaan otsus di Tanah Papua pada semua sektor ekonomi, sosial, budaya dan politik demi ketahanan nasional di Indonesia. (RED/ON)