Orideknews.com, MANOKWARI – Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari mendesak semua komponen masyarakat adat di Tanah Papua bersama Dewan Adat Papua (DAP) bangkit dan berjuang memperoleh pengakuan legalitas formal atas hak-hak dasar dan hal ini sangat penting.
Pasalnya, LP3BH Menilai kasus pelepasan hak atas tanah milik adat dari 3 marga di Saengga, Teluk Bintuni yakni Wayuri, Soway dan Simuna pada tahun 1999 seharga Rp. 15 rupiah yang saat itu jauh di bawah harga sepotong pisang goreng tidak boleh terjadi lagi saat ini maupun di masa depan di atas Tanah Adat Orang Asli Papua (OAP).
“Tanah adat murah seharga 15 rupiah itulah yang saat ini dijadikan sebagai lokasi pembangunan kilang (train) 1 dan 2 yang dikelola oleh perusahaan migas raksasa asal Inggris, Byond Petroleum (BP) sebagai kontraktor dari SKK Migas sebagai wakil Pemerintah Indonesia di Saengga-Kabupaten Teluk Bintuni-Provinsi Papua Barat,”kata Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy kepada Orideknews.com, di Manokwari, Minggu (1/04/2018).
Selain itu, lanjut Warinussy, agar tidak terjadi kasus seperti tanah adat beberapa marga Orang Asli Papua (OAP) di daerah Metemani dan Kais, Inanwatan-Kabupaten Sorong Selatan pada tahun 2015 yang tanah adatnya dilepaskan oleh salah satu perusahaan swasta dari Jakarta seluas 40 ribu hektar dan hanya dikelola 10 ribu hektar untuk perkebunan kepala sawit.
“Sedangkan sisa lahan seluas 30 ribu hektar oleh perusahaan swasta tersebut dijual lagi kepada perusahaan lain yang juga mengembangkan proyek perkebunan kelapa sawit tanpa melibatkan masyarakat adat pemilik tanah/hutan adat dari wilayah adat III Doberay berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012,”sebut Warinussy.
Dikatakannya, hal tersebut juga terjadi di kawasan dataran Kebar, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat dimana tanah adat dari 6 marga “digunakan” sebagai lokasi perkebunan kelapa sawit yang kemudian dirubah menjadi perkebunan jagung hanya berbekal rekomendasi dari Bupati Tambrauw dan Ijin Pengelolaan dari Pemerintah Pusat di Jakarta.
Namun kata dia, semua proses tersebut tidak menempatkan masyarakat adat pemilik tanah adat Lembah Kebar tersebut sebagai “penguasa bumi” sesuai amanat Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 tersebut.
“Dengan demikian penjabaran amanat pasal 43 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana dirubah dengan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2008 dan berlaku di Provinsi Papua Barat,”bebernya.
Kemudian, sebutnya, dalam hal ini perlindungan hak-hak masyarakat adat Papua di seluruh bumi Cenderawasih menjadi agenda mendesak saat ini yang seharusnya dapat disikapi oleh Dewan Adat Papua (DAP) dan Gereja-gereja serta lembaga keagamaan di Tanah Papua demi memberi proteksi bagi Masyarakat Adat Papua itu sendiri.
“Sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) menyangkut perlindungan hak-hak dasar masyarakat adat OAP atas tanah dan hutan serta sumber daya alam di Tanah Papua harus segera mendesak pemerintah daerah di Provinsi Papua Barat bersama DPR dan MRP setempat untuk merancang dan menghasilkan regulasi setingkat perdasus guna memproteksi hak-hak masyarakat adat Papua tersebut sejak sekarang ini,”tandas Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua ini. (FRE/ON).